Rabu, 04 Januari 2012

Tuhan (juga) cinta orang mabuk!


Suatu hari ada seorang mabuk tidur di pelataran gereja. Berkali-kali pengurus gereja mencoba membangunkannya dan menyuruhnya untuk bangun namun tidak kunjung berhasil. Ketika akhirnya si pemabuk bangun dari tidurnya dia berkata kepada pengurus gereja “Tidak tahukah kamu kalau aku harus berada di rumah Bapaku?” (Mop, anonim)

Sore itu sebuah berita yang mengagetkan datang. “Jusni kecelakaan” kata istriku via handphone. Jusni adalah staf Puskesmas Assolokobal dimana istriku melayani sehari-hari sebagai dokter PTT. Aku sejenak terkaget. Karena hari itu hari libur di organisasi maka dari pagi aku sudah mengantar istriku dan ikut menemaninya memeriksa pasien sampai selesai. Pagi itu memang Jusni datang terlambat. Ketika datangpun ia tidak langsung masuk ke Puskesmas tapi sibuk bertelepon dengan seseorang. Setelah selesai dari pekerjaan di Puskesmas, istriku masih sempat bertemu dengan Jusni di rumah seorang dokter rekan kerja istriku. Di akhir tahun ini memang banyak pekerjaan administrasi yang harus diselesaikan terlebih untuk Jusni karena ia seorang bendahara Puskesmas.

“Langsung ke rumah sakit saja, di UGD” sms istriku masuk ke handphoneku. Aku bergegas ke rumah sakit menaiki si hitam motor megapro yang setia menemaniku kemana saja. Di situ tampak kerumunan orang banyak. Aku menemui istriku. “Dua jari kakinya putus” kata istriku. Aku segera melongok ke arah kaki Jusni. Benar, dua jari kakinya putus. “Bagaimana peristiwanya?” tanyaku. “Ngga jelas” sahut istriku. “Ditabrak Strada, yang bawa sepertinya mabuk” lanjutnya. Tak berapa lama perhatian semua orang di ruangan pecah. Rupanya seorang yang sedang mabuk tak henti-hentinya berkata-kata. “Selamat Natal, saya mabuk jadi banyak bicara.. minta maaf.. Tuhan berkati bapak ibu sekalian” logat pegunungan yang kental disertai bau alkohol menyeruak di ruangan itu. Ada yang tertawa terkekeh, namun ada juga yang geram seraya berujar “Suntik mati saja..”. Aku sendiri sempat merasa miris dan jengkel melihatnya. Info yang kemudian aku dapat ternyata ada empat orang pemuda yang sedang mabuk mengendarai Strada. Mereka kemudian menabrak ojek yang ditumpangi Jusni. Supir ojeknya sendiri terlihat belum sadarkan diri.

Istriku terlihat sibuk dengan rekannya sesama dokter. Aku hanya menunggu sambil sesekali membantu mengambilkan beberapa keperluan yang dibutuhkan istriku. Sambil menunggu aku mulai berpikir tentang orang mabuk tadi. Apa yang akan terjadi saat dia sadar nanti? Apakah dia tahu bahwa perbuatannya telah membuat orang lain terluka? Pertanyaan yang muncul dalam benakku semakin banyak dan bahkan menjadi semakin sulit kujawab tatkala pertanyaan yang mulai muncul adalah: Bagaimana pandangan Tuhan tentang orang ini? Apakah Tuhan juga mencintai orang mabuk ini? Belum lagi bisa kujawab, pertanyaan lain muncul dalam benakku: Apakah aku masih bisa menghargai orang mabuk itu sebagaimana nilai dasar organisasi WVI “we value people”?

Dokter dan perawat UGD bertindak cepat. Luka-luka di tubuh orang mabuk itu dibalut di tengah-tengah ocehannya yang kunjung berhenti hingga ia dipindah ke ruang rawat. Ternyata orang mabuk pun mendapat perlakukan sama oleh tenaga kesehatan di UGD malam itu. Tidak peduli dengan kejengkelan yang ada dalam hati semua terapi yang dia butuhkan dikerjakan tanpa kecuali. Dalam hati aku memuji para dokter dan perawat ini. Mereka inilah yang patut diacungi jempol, pikirku karena mereka tetap menghargai si penabrak yang tengah mabuk tanpa perbedaan dengan pasien lainnya. Ini baru we value people!

Sekitar jam 11 malam akhirnya kami pulang. Perut ini terasa keroncongan. Pikiranku masih terus terbayang kejadian di UGD tadi. Sehabis menyantap nasi goreng, aku mencoba merenungkan kembali pertanyaanku tadi. Terlintas satu ayat di Korintus yang menyatakan bahwa pemabuk tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah (I Kor 6:10) namun bagaimana kalau si pemabuk kemudian sadar lalu bertobat dan mengaku dosanya? Ternyata Allah itu setia dan adil, Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (I Yoh 1:9). Yah, akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan. Jika si pemabuk tadi benar-benar mengakui dosanya dan memohon pengampunan maka ia pasti akan diampuni. Tuhan tetap cinta dia, sama seperti dia cinta aku dan semua orang di dunia ini. Tuhan tetap cinta orang mabuk!

Dasar Hidup Masyarakat Jayawijaya

Suatu kali saya sempat mengajukan pertanyaan kepada seorang ahli budaya yang tinggal di Wamena, kebetulan beliau juga adalah orang asli Wamena yang menekuni soal sejarah dan budaya. Beliau bernama Niko A. Lokobal. Waktu itu beliau menjawab dalam bentuk tulisan yang disampaikan ke saya pada tanggal 10 Juni 2011. Saya baru sempat menuliskannya kembali sekarang. Berikut ini saya paparkan kembali apa yang dituliskan beliau untuk saya (dr. Willy Sitompul) mengenai dasar hidup masyarakat Jayawijaya.

Masyarakat Jayawijaya adalah masyarakat yang menghormati tanah. Dalam hal ini:
• Tanah sebagai dasar hidup mereka
• Tanah sebagai akar hidup mereka
• Tanah sebagai ibu yang memberdayakan hidup melimpah

Maka tanah adalah “kudus/ sakral” dalam pandangan mereka. Pada tanah dibuat batas (pagar) kepemilikan dalam bentuk tanaman atau batu sebagai batas penguasaan (kepemilikan). Sambil bekerja anak-anak generasi berikutnya diberi tahu cara membuat pagar dan memelihara batas-batas tersebut. Juga tentang kesakralan tanah.

Tanah Harus Beristirahat. Pada saat tanah beristirahat, manusia tidak boleh beraktifitas apapun yang berhubungan dengan tanah. Kesakralan tanah diumumkan oleh penguasa wilayah misalnya wilayah Mukoko atau Welisi dan Assolokobal.

Penguasaan wilayah direbut melalui perang suku yang disponsori oleh kepala suku dari konfederasi tertentu. Kemudian beberapa konfederasi itu membentuk aliansi jika menghadapi perlawanan dari aliansi lain. Jadi sistim aliansi dan konfederasi berlaku ketika menghadapi peperangan atau perlawanan. Ada pula perang antar konfederasi. Ketika menghadapi perlawanan dari luar konfederasi mereka bersatu sebagai aliansi untuk menghadapi musuh bersama.

Tokoh mitos yang disebut Naruekul adalah satu dan sama bagi masyarakat Jayawijaya. Setiap marga atau klan memiliki totem masing-masing dimana setiap totem mengarah pada Naruekul sebagai tokohnya. Jika ditelusuri terus maka tokoh mitos tersebut ternyata dibunuh dan kemudian dipotong-potong dan dibagikan ke kelompok-kelompok orang. Setiap kelompok orang yang memperoleh bagian tertentu kemudian menyebar sampai ke seluruh lembah Baliem hingga ke arah Barat.

Menurut Niko Lokobal, sampai saat ini pada setiap pertemuan atau konflik yang beliau saksikan selalu mengarah pada Naruekul sebagai dasar hidup masyarakat Jayawijaya. Sehingga kesimpulan beliau adalah: dasar segala aktifitas masyarakat Jayawijaya adalah tanah yang disirami darah Naruekul sebagai tokoh mitosnya.