Selasa, 15 Maret 2016

Usia 39: Selalu ada Waktu untuk Bersyukur!


Usia 39. Sumber gambar: homebodyholly.com


Angka 39 itu angka yang unik! Paling tidak itu yang saya temukan jika mengetikkan angka itu di mesin pencari Google. Konon angka 39 itu adalah hasil penjumlahan premis konsekutif (jangan tanya apa artinya…) yaitu 3+5+7+11+13. Pokoknya angka ini sepertinya istimewa. Ada yang bilang 39 itu adalah Perfect Totient Number dan ada pula yang bilang Stormer Number. Entah apa maksudnya. Yang saya pahami memang betul kalau tiga pangkat satu (3) ditambah 3 pangkat 2 (9) dan ditambah lagi dengan tiga pangkat 3 (27) hasilnya adalah 39.

Kita sudahi saja membahas hitung-hitungan itu. Toh saya bukan ahli matematika. Bukan pula orang yang suka dengan hitung menghitung (kecuali menghitung sisa saldo di tabungan he..3x). Tapi ternyata bukan dari hitung menghitung saja, di berbagai bidang angka 39 ini ternyata bermakna pula. Di agama, ada 39 kitab di Perjanjian Lama menurut Kristen Protestan, ada 39 pernyataan (39 articles) di gereja Anglikan. Di bidang musik, ada banyak lagu berjudul “39”, salah satu yang terkenal adalah yang dibawakan oleh Queen dalam A night at the opera. Dalam sejarah, jika seorang budak dihukum cambuk sebanyak 40 kali maka jumlah total cambukan yang dia terima adalah 39 kali (forty save one). Yang terakhir, yang paling saya sukai, ternyata 39 adalah bahasa slang dalam keseharian orang Jepang (mungkin kalau pas lagi sms atau WA kali ya..) untuk mengatakan “terima kasih” atau “thank you”. Tiga adalah “san” dan sembilan adalah “kyuu”. Sangat menarik mengetahui banyak hal tentang angka 39 ini.. 

Namun, buat saya 39 adalah pertambahan usia yang saya jalani hari ini. Hari ini 15 Maret 1977 tiga puluh sembilan tahun lalu saya dilahirkan. Banyak sudah yang dijalani. Banyak kisah haru biru. Banyak kisah senang. Banyak duka dan suka. Saya masih ingat tiga tahun lalu, saat berulang tahun juga, ada hadiah yang sangat menggembirakan, apa lagi kalau bukan si kecil berambut gondrong yang sekarang telah menjelma menjadi anak perempuan yang ceriwis. Sayang pagi tadi dia tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun untuk papanya. Katanya papanya nakal. Hahhh… kalau kamu tahu betapa rindunya papa denganmu nak… 

Yang pasti, entah sampai berapapun usia saya nanti, saya selalu yakin akan ada banyak waktu untuk bersyukur. Bersyukur setiap saat dan setiap waktu kala kita ingat akan banyak hal yang wajib kita syukuri. Bersyukur kalau masih bisa diberikan nafas. Kesehatan yang baik untuk diri sendiri, anak dan istri. Masih punya pekerjaan. Masih punya sahabat dan teman. Masih punya orang tua dan sanak saudara. Masih punya tempat tinggal. Masih punya ini dan masih punya itu… Suatu saat bisa saja semua itu tak ada lagi. Hilang, karena Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Begitu kata Ayub. Tapi Yub, jujur saja, saya mungkin nggak sekuat dikau he..3x

Jadi, happy birthday to me… happy birthday to me… happy birthday…. Happy birthday…. Happy birthday to me.. Terimakasih Tuhan Yesus atas segalanya. YOU are the best My Lord! San Kyuu…
 

Rabu, 02 Maret 2016

Kepemimpinan Yang Meresahkan



Sekedar menuliskan kembali curahan hati seorang teman...

Anda resah? Sumber gambar: jeffmcclung.com
 
Akhir-akhir ini di organisasi dimana saya bernaung dan bekerja (bekerja atau melayani ya yang lebih tepat?) muncul keresahan di berbagai tempat. Keresahan itu sebenarnya sepele saja awalnya. Berawal dari informasi yang datangnya simpang siur. Berawal dari isu (kalau tidak mau disebut gosip) yang kemudian ditimpali oleh isu lainnya. Atau mungkin diawali dengan adanya kepemimpinan yang baru? Intinya begini, ada kabar bahwa akan ada perubahan di organisasi ini. Yang sangat disayangkan adalah, ketika semua sudah bersiap dengan perubahan itu dan berkata pada dirinya sendiri, “Oh akan ada perubahan ya? Oke siap…” ternyata perubahan itu tak kunjung datang.

Rencana awal dari perubahan itu adalah penyusunan strategi organisasi. Strategi terakhir yang dipunyai sudah berakhir tahun 2015 lalu, artinya mutlak diperlukan strategi baru guna mencapai… nah, ini dia yang saya agak bingung. Karena kalau saya jawab guna mencapai hal yang sama, kok ya perlu strategi baru. Yang jelas, organisasi seperti berburu dengan waktu. Strategi pun disusun dengan melibatkan sesedikit mungkin orang. Toh, nanti setelah jadi bisa di share ke orang yang lebih banyak. Dan akhirnya memang strategi itu dishare juga dan orang-orang yang lebih banyak itu ternyata kebagian getahnya juga, yaitu bagaimana mengejawantahkan strategi yang dibuat oleh segelintir orang tadi ke wilayah mereka masing-masing yang sudah jelas berbeda konteks dan kearifan lokalnya. 

Sayangnya prosesnya terlalu lama. Proses yang tadinya jelas-jelas top down, seolah-olah mau dibuat bottom up dengan tambahan plus-plus yaitu arahan dari pusat. Maka safari dari kota ke kota pun diatur. Segelintir orang (yang itu-itu saja) berjalan dari kota ke kota. Membelanjakan sangat sedikit uang untuk biaya perjalanan. Membelanjakan sangat sedikit waktu untuk menyusun turunan strategi di tiap-tiap wilayah yang disebut zona itu. Untuk kemudian memperoleh hasil yang sangat sedikit eh.. maksud saya.. yang maksimal.

Belum selesai gelombang strategi, datang gelombang berikutnya yang bernama restrukturisasi. Sayangnya inipun tidak jelas. Semua informasi datang simpang siur dan tidak bisa dikelola dengan baik. Si peniup informasi dan si penerima informasi sepertinya sama-sama resah. Si peniup informasi seolah sedang mencoba teknik “coba-coba salah” dan si penerima informasi bertahan dengan teknik “pura-pura merasa nggak ngefek tapi was-was juga”. Teknik “coba-coba salah” itu artinya begini: kira-kira kalau saya sampaikan informasi A bagaimana ya respon pendengar? Kalau ternyata respon pendengar baik dan mereka menerima A, lanjutkan, kalau tidak tinggal ganti saja informasinya dan mengelak kalau pernah mengeluarkan informasi tersebut. Gitu saja kok repot? Enjoy dikitlah, nikmati fasilitas yang sangat sedikit ini. Eh, anak ama bini gue dah dijemput belum ya?

Restrukturisasi katanya untuk memaksimalkan kinerja staf, melakukan efisiensi di segala bidang. Tinggal gabung saja beberapa divisi, nggak usah dilihat perbedaan masing-masing divisi toh kita tetap satu keluarga besar. Yang penting strukturnya terlihat padat dan ringkas. Nggak perlu juga dipikirkan kalau nanti masing-masing divisi akan berebut mempertahankan eksistensinya dan membuat staf di level bawah kelimpungan. Biarkan saja mereka kelimpungan, siapa suruh mereka ada di bawah sana. Di bawah memang enak juga sih, pemandangannya bagus…  Eh, ngomong-ngomong gue perlu asisten baru nih… 

Hei pren, apa sih sebenarnya masalahnya? Bukankah sebuah organisasi akan berjalan baik jika ada kepemimpinan yang baik pula. Bukankah sudah ada beberapa survey yang dilakukan? Ditindaklanjuti dong.. Bukan dengan membuat rincian tindak lanjut yang asal jadi (seolah-olah sudah ditindaklanjuti namun sebenarnya yang ditampilkan adalah omong kosong yang jujur, malah memperparah kondisi) namun dengan langkah-langkah konkrit yang melibatkan para staf di segala level. Bukankah staf adalah asset terbaik organisasi?

Lalu, bagaimana dengan si pemimpin yang membuat resah tadi? Kita memang tak pernah bisa memilih siapa pemimpin kita. Yang bisa kita lakukan adalah kembali ke nilai-nilai dasar organisasi dimana kita bernaung dan dulu melayani (sekarang bekerja) sambil terus berdoa. Bukankah ada sebuah kitab bijak yang menuliskan bahwa doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya

Sudah… sudah… ayo kembali bekerja (dan berdoa jika anda sedang berdoa sebelum membaca artikel ini), jangan dibahas lagi isu-isu itu…