Rabu, 20 Juni 2012

Layakkah Orang Wamena Marah?


Hari itu (tanggal 6 Juni 2012) saya sedang memimpin rapat bulanan di kantor kami di Asrama Mandiri. Kantor ini terletak di kawasan yang agak jauh dari pusat kota Wamena. Butuh waktu agak lama dari rumah menuju kantor ini. Saya sendiri, dan rekan-rekan kerja saya, baru sejak tanggal 2 Juni 2012 secara bertahap pindah ke kantor ini. Sebuah pengorbanan yang harus diambil untuk efisiensi biaya sewa kantor yang harus dikeluarkan setiap tahunnya.
Sumber: www.westpapuamedia.info
Namun bukan itu yang ingin saya ceritakan saat ini. Situasi hari itu sangat mencekam. Saya dan rekan-rekan termasuk pada grup orang-orang yang khawatir saat itu. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Berita datang simpang siur, silih berganti, baik via sms maupun via telepon (HP). Rapat bulanan pun terpaksa dipersingkat. Teman-teman lapangan yang menginap di hotel Wamena, dibonceng satu persatu dengan motor yang ada. Isu saat itu hanya satu, “Tentara ngamuk!”.
Menuju rumah, jalanan sudah dipenuhi oleh orang-orang asli Wamena. Asap hitam membumbung tinggi ke udara. Gila! Pikirku. Harus cepat sampai rumah. Apa daya motor pun tak bisa dikebut. Masyarakat terlalu banyak sehingga kalau motor berlari agak cepat bisa memancing masalah baru. Bisa jadi pusat perhatian dan kalau sudah demikian, bisa ditebak apa yang akan terjadi. Saya bisa diberhentikan di jalan. Motorpun ada kemungkinan diambil dan dibakar begitu saja di jalan.
Sampai di rumah istriku sudah khawatir. Tetangga sebelah tak bisa pulang, katanya. Dia terjebak di kantor. Sehabis memasukkan motor ke dalam rumah, suara tembakan terdengar berentetan. Tirai jendela kami tutup. Lampu dipadamkan. Suasana sangat mencekam. Hampir 1 jam suara tembakan membahana memecah kesunyian kota. Dalam bayanganku, para tentara bergerak maju dan menembaki siapa saja yang mereka temui. Kacau! Kalau aparat keamanan malah masuk kota dan mengamuk. Sehabis itu suasana sepi. Hujan rintik-rintik mulai turun. Lebih lengkap lagi, saat itupun listrik satu kota mati. Makin lengkaplah suasana mencekam itu. Untung sekitar jam 8 malam (kalau saya tak salah mengingat) lampu kembali menyala. Memang masih hujan deras, tapi paling tidak kalau lampu menyala masih agak meringankan situasi saat itu.
Salah satu sms pun saya terima, “Tentara sedang sisir jalanan dst...dst...”. Segera saya hubungi salah satu rekan lapangan. Jangan sampai ada yang berkeliaran diluar hotel dan menjadi korban sia-sia. Untung jalur komunikasi via HP masih baik. Pesan saya diterima dengan baik dan diteruskan ke semua rekan-rekan lapangan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata ceritanya bermula dari beberapa tentara yang mengendarai kendaraan bermotor kemudian menyenggol orang Wamena sehingga terluka (di kemudian hari ternyata diketahui bahwa orang yang disenggol tersebut adalah orang Lanny Jaya). Orang Wamena tersebut membalas tentara tadi hingga kabarnya tentara tersebut tewas. Akhirnya tentara satu batalyon mengamuk, turun ke kota dan marah membabi-buta. Sayang, yang jadi korban tak hanya orang Wamena. Satu toko milik pendatang (suku Batak) porak-poranda, barang-barang kiosnya habis dijarah massa, satu gudang becak dibakar, sekian honai dibakar di sekitar wilayah Gunung Susu, sekian orang terluka, sekian orang tewas. Suatu pengorbanan yang tidak perlu jika aparat bisa menahan diri. Suatu pengorbanan yang terlalu mahal yang berujung “terlihat arogan” di mata orang Wamena. Setelah peristiwa itu muncul pula kekhawatiran baru, dengan banyaknya korban orang Wamena akibat ngamuknya tentara, akankah orang Wamena membalas? Dengan peristiwa tersebut, layakkah orang Wamena marah? Terlepas adanya provokator yang mungkin juga orang Wamena (mungkin orang Wamena, tapi pasti orang Papua) yang meneriakkan, “bakar rumah pendatang!”. Terlepas adanya aksi di wilayah lain sesudahnya, layakkah mereka marah? Untuk peristiwa ngamuknya aparat ini, saya setuju, orang Wamena berhak marah! Sama sekali tidak ada alasan sekelompok aparat bisa berbuat seenaknya seperti itu. Dan sayangnya hal ini tidak tersebar di stasiun berita manapun. Saya mencoba melihat setiap running text di berbagai stasiun televisi namun tak ada berita lengkap tentang hal ini. Yang ada hanya satu link yang saya dapatkan yang bisa pembaca klik disini. Saya tidak tahu apakah berita yang ada di situ bisa dibilang objektif atau tidak. Saya juga tidak menyatakan bahwa saya mendukung sepenuhnya isi website itu. Yang jelas, pemberitaan itu harus berimbang. Jangan cuma penyerangan oleh kelompok tertentu diberitakan gencar namun tindakan aparat tidak diexpose secara terbuka.
Hari Kamis, tanggal 7 Juni 2012 instruksinya jelas. Semua staf diam di rumah masing-masing menunggu komando kordinator security yang ditugaskan untuk hal-hal seperti ini. Saya dan istri pun tinggal di rumah memanfaatkan waktu untuk mencuci baju dan bersih-bersih rumah sambil celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri melihat situasi. Jalanan masih tampak lengang di pagi hari namun siang dan sore harinya situasi berangsur normal. Sempat ada peristiwa heboh di siang hari dimana salah satu jenazah korban tewas (orang Wamena) diarak oleh keluarganya di jalan-jalan kota. Bahkan melewati bandara Wamena. Seisi bandara heboh, mereka pikir orang Wamena akan membalas dendam. Namun ternyata tidak, orang Wamena hanya mengungkapkan kekecewaan mereka, atas perilaku aparat yang mereka alami.
Well, mereka (orang Wamena) berhak marah dan saya tahu itu. Tapi mereka tidak (marah). Atau mereka menunggu waktu yang tepat? Hanya Tuhan yang tahu.