Jumat, 05 Agustus 2016

Jalan-jalan ke Ketandan



Kemarin, atas usulan seorang kawan saya bersama beberapa teman mengunjungi suatu tempat di Surabaya yang disebut sebagai Kampung Ketandan. Jujur, lama bermukim di Surabaya tak serta merta membuat saya tahu persis dimana lokasi kampung ini. Begitu mendengar namanya maka otomatis yang terpikir adalah menanyakan perihal tentangnya kepada orang yang tepat. Orang itu adalah Mbah Google :-) 

Blognya Kampung Ketandan. Sumber: ketandansurabaya.blogspot.co.id

Dari si Mbah, saya mendapatkan petunjuk untuk mengunjungi blognya yaitu Ketandan Surabaya. Blog ini aktif sejak Maret 2016. Jadi, asumsi saya kemungkinan besar kampung ini baru direvitalisasi sekitar awal tahun 2016 ini. Tapi itu masih sebatas asumsi. Mungkin ada baiknya langsung mengunjungi lokasi dan bertanya pada informan yang tepat.

Ketika mengunjungi lokasi, jika tidak bertanya maka tidak akan dapat lokasinya. Karena kebetulan kami rajin bertanya maka lokasinya pun dapat dan nggak pakai nyasar….he..3x Ternyata lokasinya benar seperti apa yang ada di foto yang ditampilkan di blognya. Saya coba bandingkan foto lawas yang ada di blog dengan foto kemarin. Tampak sekali perbedaannya, perbedaan yang membuat saya sadar bahwa ternyata jalan itu sudah ada sejak jaman dahulu kala. Keren… 

Jalan di depan Kampung Ketandan dulu. Sumber: ketandansurabaya.blogspot.co.id


Jalan di depan Kampung Ketandan sekarang. Photo by Rudy Rapang.
Sayangnya Kampung Ketandan bukan terletak di jalan itu. Itu hanya jalan pembuka saja. Jalan masuk Kampung Ketandan persis ada di sebelah Bank of India Indonesia (mudah-mudahan saya menyebutnya dengan benar..). Jalannya kecil, hanya bisa dilalui oleh motor. Nah, ini bagian yang paling menarik: motor ternyata hanya boleh menyala di pintu masuk saja, selebihnya harus dituntun. Itu ternyata yang membuat kami tidak mendengar deru motor selama berjalan-jalan di kampung ini.

Mural langsung menyambut di pintu masuk kampung. Photo by Rudy Rapang.
Ketika memasuki kampung, hampir semua tembok dan jalan dipenuhi oleh mural. Desainnya oke dan sepertinya belum berumur lama. Saya mencoba menyentuh beberapa bagian mural dan ternyata sangat sedikit debu yang menempel. Kembali berasumsi, kemungkinan mural baru dibuat ketika ada perhelatan besar Prepcom HABITAT III yang diadakan Juli lalu. Ini adalah sebuah even berskala internasional dan Surabaya terpilih menjadi tuan rumahnya. Tak heran, jika Surabaya harus lekas-lekas bersolek dan menampilkan yang terbaik dari dirinya. Dan, ini yang paling penting, tak ada yang salah dengan hal itu. Toh hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh warganya. Dalam hati sempat terpikir juga, baik juga kalau sering-sering ada perhelatan besar berskala internasional dilakukan di Surabaya supaya kota ini makin terlihat oke.
Kampung Ketandan terlihat sepi siang itu. Salah kami sendiri mungkin, karena berkunjung pada jam kerja sehingga sulit menemukan orang yang bisa menjadi sumber informasi. Namun, dari penglihatan secara fisik dapat diketahui bahwa memang kampung ini sangat bersih. Public space? Ada dan cukup banyak, bahkan tersedia pula tempat pertemuan (balai) khusus perempuan. Ini menarik, karena di belakang gedung-gedung tinggi itu ternyata tersimpan suatu kampung yang tertata rapi seperti Kampung Ketandan.

Mural di kampung Ketandan. Photo by Rudy Rapang.


Balai tempat aktifitas warga di Ketandan. Photo by Rudy Rapang.

Balai tempat aktifitas warga di Ketandan. Photo by Rudy Rapang.

Tersedia juga tempat berkumpul untuk kaum perempuan. Photo by Rudy Rapang.

Akhirnya, terpikir juga untuk menyebarluaskan apa yang terjadi di kampung ini ke kampung-kampung lain. Bayangkan, kalau semua kampung di Surabaya seperti ini… wow keren! Maka tak salah memang kalau kampung ini sempat dikunjungi oleh delegasi berbagai negara saat perhelatan Prepcom HABITAT III lalu. Sukses terus untuk siapapun yang memulai kampung ini. Keberhasilannya bukan pada bentuk fisik kampung ini, namun pada unsur moralnya dimana semua warga benar-benar berpartisipasi untuk kemajuan kampungnya. Ini nih yang bisa dinamakan Kampung’e Arek Suroboyo… gimana? Setuju?

Selasa, 12 Juli 2016

Bola Merah di Sudut Kamar



Judul di atas adalah judul cerpen yang saya buat untuk mengikuti lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Faber Castell di tahun 2015. Waktu itu adalah kali kedua saya mengikuti lomba menulis cerpen oleh penyelenggara yang sama. Di tahun sebelumnya saya tidak lolos, masuk finalis pun tidak. Namun, kali ini berbeda. Walau semua proses berlanjut hingga awal tahun 2016 namun ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Saya berhasil meraih juara III kategori umum (kategori B) dengan judul cerpen di atas. Gembira sekaligus terharu, karena ini adalah kedua kalinya saya memenangkan lomba menulis cerpen. Lomba pertama yang saya menangkan adalah untuk cerpen berjudul “Nggak Beli Lotre Pa?” yang juga dapat dibaca pada blog ini.

Yang menarik adalah proses penjurian dimana banyak orang-orang yang sudah berpengalaman di bidang penulisan artikel, cerpen, dan media berkomentar memberikan penilaiannya. Saya cukup bangga menyimak komentar yang bisa saya dapatkan di laman web tulisen.com yang saya lampirkan gambarnya di bawah ini. Untuk link-nya dapat diklik di sini (mudah-mudahan link-nya masih aktif ya...).

Saya kutip komentarnya sebagai berikut:

Demikianlah, saya belum menemukan topik yang sesungguhnya cukup ‘nendang’ dalam lomba cerpen misteri ini. Dan ada yang menarik pada penjurian tahap dua. Saya dan Mbak Nina Moran Go Girl, nampaknya berselisih pendapat mengenai satu cerpen pada kategori B yang berjudul “Bola Merah di Sudut Kamar” saya memberikan nilai hampir sempurna, sementara Mbak Nina memberikan nilai separuh dari nilai yang saya berikan. Ini menarik! Karena menurut saya, walaupun cerpen yang menceritakan tentang orang yang sudah meninggal ini merupakan topik yang mainstream tetapi teknik bercerita yang sangat menarik dan ending yang mengejutkan! Teknik bercerita yang menarik itu karena Rachmat Willy Sitompul menggunakan dua sudut pandang sekaligus dalam satu cerpen, tanpa terasa memaksakan diri, mengalir dan menghasilkan ending yang mengejutkan. Semula saya mengira, tokoh yang meninggal adalah suaminya, tetapi ternyata justru istri dan anak perempuannya yang diceritakan pertama kali lah yang sudah meninggal. Awesome!

Sumber: tulisen.com

Wah senangnya manakala tulisan kita diberi komentar! Jikalau komentar itu seandainya bernada miring pun sebenarnya oke-oke saja. Itu akan membangun kita untuk menjadi lebih baik ke depannya. Apalagi jika komentar yang bernada positif tentunya harus semakin membuat kita bersemangat untuk karya-karya selanjutnya.

Tanpa berpanjang-panjang lagi. Silahkan disimak cerpen berjudul “Bola Merah di Sudut Kamar” berikut ini, mungkin dalam narasi ada perbedaan redaksional dengan yang di dalam buku kumpulan cerpen pemenang yang akan diterbitkan oleh Faber Castell karena tuntutan jumlah halaman, namun inti ceritanya sama, selamat membaca!

Bola Merah di Sudut Kamar – Juara III Kategori B Lomba Cerpen Faber Castell 2015

“Selamat pagi Ayah!” suara Nisa, bocah perempuan berusia tiga tahun itu memecah kesunyian pagi. Sambil menguap, Nisa berusaha membereskan sendiri tempat tidurnya yang berada dalam kamar ukuran tiga kali lima itu.
“Geser sedikit Ayah!” suara Nisa kembali terdengar. Yang dipanggil Ayah hanya tersenyum sambil sosoknya bergerak ke arah pinggir tempat tidur, turun sejenak dan kemudian kembali duduk di atasnya ketika Nisa merapikannya.
“Mandi dulu Ayah!” suara Nisa lagi-lagi memecah sunyi. Walau masih pukul enam pagi, gadis kecil itu bergegas mandi untuk mengikuti kelas PAUD hari itu.
“Nisa?” suara seorang perempuan terdengar mengiringi bunyi ketokan di pintu kamar. Itu Astuti, ibu Nisa. Dia berumur sekitar akhir dua puluhan. Cantik, dengan wajah khas keibuan.
“Sebentar Bu, sedikit lagi!” teriak Nisa kecil dari kamar mandi.
“Oke… cepat ya, jangan sampai kita terlambat!” suara sang ibu lagi menjawab Nisa sambil tersenyum dan berbalik pergi.

Nisa sudah selesai mandi. Masih berbalut handuk, Nisa mencari baju seragam sekolahnya. Lemari dibuka. Satu per satu baju yang tergantung disibakkan. Ketika menemukan seragamnya, Nisa tersadar sesuatu.
“Ayah, jangan ngintip ya.. Nisa malu!”
Sosok yang dipanggil sang Ayah itu lagi-lagi hanya tersenyum. Dia menaruh kedua tangan menutupi matanya sambil tetap tak bersuara.
“Nisa? Sudah” suara sang ibu kembali terdengar. “Kalau sudah lekas turun, sarapannya dibawa saja ya? Kita sudah hampir terlambat nih…”
“Oke Bu… sebentar..” jawab Nisa sambil menyisir rambutnya. Nisa selalu mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda. Lebih cepat dan mudah pengaturannya, begitu pikir Nisa. Heran, walau masih berusia tiga tahun, anak itu sudah mengerti hal-hal yang praktis.
“Daaah.. Ayah…” Nisa melambaikan tangan ke arah sudut kamar. Sosok yang dipanggil Ayah lagi-lagi hanya tersenyum dan melambaikan tangan membalas salam Nisa.
Suara mobil terdengar meraung sebentar sebelum akhirnya menghilang. Kamar itu kembali sunyi. Rumah itu kembali sunyi.

Jam pelajaran kelas PAUD tidak terlalu lama. Kelas biasanya dibubarkan sekitar pukul  setengah sepuluh pagi. Karena waktu belajar yang singkat, hampir semua orang tua menunggui anak mereka.
Seperti biasa pelajaran di kelas PAUD selalu menyenangkan. Demikian pula hari itu. Nisa sangat senang dengan pelajaran yang didapatnya. Ibu guru Rani mengajar dengan baik. Senyumnya sangat ramah. Nisa sangat senang dengan ibu guru Rani. Disalam Nisa tangan ibu gurunya itu sebelum beranjak pulang.
Suara mobil kembali terdengar memasuki pekarangan rumah itu. Ketika mobil berhenti di depan garasi, Nisa bergegas turun. Dengan lincah Nisa membuka pintu depan dan bergegas menaiki anak tangga satu demi satu menuju ke kamarnya.

“Ayah… Nisa pulang!” teriak Nisa senang. Nisa langsung melepas sepatunya dan langsung melompat ke atas tempat tidur untuk memeluk sosok yang dipanggil Ayah itu. Yang dipeluk hanya tersenyum. Sang Ayah sejenak beradu kening dengan putrinya. Keduanya bertatapan sejenak melepas rindu.
“Mana bolanya?” kata Nisa sambil melirik ke sudut kamar. Mata sang Ayah juga melirik ke sudut kamar. Di sudut kamar itu ada sebuah bola berwarna merah. Ukurannya tidak terlalu besar. Cukup ringan untuk diangkat oleh seorang anak kecil. Nisa turun dari tempat tidur dan bergegas mengambil bola itu.
“Tangkap Ayah…” Nisa berseru sambil melempar bola itu. Bola rupanya memantul ke dinding dan kembali pada Nisa.
“Nisa… ayo turun… makan siang dulu!” suara Astuti terdengar dari ruang tengah rumah itu. Wajah Nisa sedikit kecewa. Permainan bolanya terganggu karena harus makan siang. Sang Ayah hanya tersenyum seolah mengatakan agar Nisa makan siang dulu. Nisa balas tersenyum sambil memegang perutnya.
“Lapar…” kata Nisa. “Nisa makan dulu ya Ayah. Nanti kita main lagi… “ kata Nisa lagi sambil melambaikan tangannya sekilas dan langsung menuju ke pintu kamar.
Kamar itu kembali hening. Namun tak lama suara dua pasang tapak kaki menaiki satu demi satu anak tangga terdengar. 

“Ayo Bu sekali-sekali kita main sama Ayah..” suara Nisa terdengar. Sang ibu hanya tersenyum. Astuti bergerak buru-buru mengambil beberapa baju Nisa yang sudah kotor dan mengelompokkannya di sudut kamar.
“Ayolah Bu.. itu lihat Ayah sudah menunggu…” pinta Nisa lagi sambil menarik tangan ibunya.
“Nisa saja ya… Ibu masih harus menyetrika pakaian di bawah..” Astuti menjawab dengan lirih. Matanya tampak berkaca-kaca namun dia berusaha agar tak menumpahkan air mata di hadapan Nisa.
“Ah ibu… “ suara Nisa kecewa. Namun sepertinya rasa kecewa Nisa tidak lama. Nisa kembali mengambil bola merah di sudut kamar itu dan mulai memainkannya. Bola itu terpantul ke dinding dan ditangkap kembali oleh Nisa.
“Lempar Ayah…”
“Wah… bolanya lepas Ayah..”

Suara Nisa memenuhi seisi kamar itu. Astuti hanya memandang Nisa. Mengusap matanya sebentar agar tidak jadi menangis. Kemudian cepat-cepat dimasukkannya pakaian Nisa yang telah disetrika dengan rapi ke lemari pakaian.
“Nisa, ibu turun dulu ya…” suara Astuti terdengar memecah keramaian suara Nisa yang sedang bermain bola. Nisa hanya melirik sekilas ke ibunya sebagai jawaban. Nisa pun kembali bermain.
Siang itu berlalu begitu cepat. Lelah bermain bola, Nisa naik ke atas tempat tidur. Duduk di samping sang Ayah. Mereka berdua membolak-balik sebuah buku cerita hingga akhirnya Nisa lelah dan tertidur dipangkuan sang Ayah. Suasana berubah sunyi. Bola merah itu terdiam di tempatnya di sudut kamar.

***
Rangga tiba-tiba terbangun. Kesunyian itu tiba-tiba menyadarkan dirinya. Setiap kali bola merah disudut kamar itu bergerak, seketika itu juga suasana di kamar itu berubah. Ada sosok anak kecil dan kadang ada pula sosok seorang perempuan yang muncul. Tapi Rangga tak bisa berkata apapun kepada keduanya. Rangga hanya bisa berinteraksi dengan mimik wajah dan gerakan tubuh.  Tapi itu saja sudah cukup bagi Rangga. Sudah cukup untuk mengobati kerinduannya pada Nisa putrinya dan pada Astuti istrinya. Keduanya meninggal akibat kecelakaan tiga tahun yang lalu. 

Suasana kamar itu tak pernah berubah hingga kini. Bola merah itu masih tergeletak di sudut kamar dan sesekali bergerak dan mengubah sesaat suasana. Walau merasa heran, Rangga senang bisa kembali bertemu dengan Nisa dan Astuti. Tiba-tiba lamunan Rangga sejenak terputus oleh sebuah suara.

“Mas Rangga sayang.. sudah diminum obatnya?” suara itu suara Rani. Dia seorang ibu guru. Dia istri Rangga sekarang. Mobil Rani yang menabrak Astuti dan Nisa hingga tewas.

Rabu, 29 Juni 2016

A good team made a good leader!

Sedikit catatan dari Keplek Ilat sore itu... 



Siapa yang nggak ada hayoo...?



Saya perlu berpikir lama sebelum menuliskan judul di atas. Tadinya saya pikir tulisan ini akan berjudul “Kebersamaan itu penting!” atau “Bukan basa-basi, yang penting kebersamaan!”, tapi kemudian saya berpikir lagi, jangan-jangan hanya saya yang menganggap itu penting dan bisa saja oleh rekan yang lain hal itu nggak penting-penting amat, malah mungkin ada yang berpikir kalau itu hanya merepotkan saja. Kan sudah selesai jam kerja, ngapain sih ngumpul lagi? Mudah-mudahan itu hanya di pikiran saya saja ya…

Yang jelas sore itu suasana tampak asyik lah pokoknya. Coba bayangkan, mendekati akhir bulan dimana wujud THR belum tampak apalagi wujud mahkluk bernama gaji seakan masih jauh di seberang lautan, tim ini masih sanggup bersuka ria, saling bercerita, menikmati makanan ala kadarnya (kayaknya nggak kalo yang ini, karena makanannya buanyak bingitsss..), dan menampakkan kegembiraan seolah-olah tidak khawatir kalau THR tidak datang atau gaji terlambat masuk. Yang nggak puasa sepertinya malah makan lebih banyak dari yang puasa. Sebenarnya ini sah-sah saja, karena yang puasa tentu perutnya sudah terlatih untuk tidak menerima banyak makanan sehingga cepat kenyang (alasan… he..3x).

Namun dibalik kebersamaan adapula terselip kekhawatiran. Kekhawatiran kalau kebersamaan ini mungkin tak akan terulang di waktu-waktu yang akan datang. Mungkin bisa jadi terulang tapi dengan personil yang berbeda atau personil yang berkurang. But, what a heaven! (kebalikan dari umpatan yang biasa) ada yang bilang kesusahan sehari cukuplah untuk sehari karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Setiap orang pasti khawatir dengan masa depan, akan seperti apakah? Akan bagaimana kah? Bagaimana dengan rencana nikah? Kok nggak boleh punya anak dulu? Kejam amat sih pak UM.. tapi lebih kejam pak SO lah yang jelas-jelas melarang nikah… 

Anyway, seperti judul di atas, seorang pemimpin itu terlihat hebat karena dia memiliki staf yang hebat. Jika seorang pemimpin memiliki staf yang buruk dan dia terlihat buruk, maka ada yang salah dengan pola kepemimpinan sang pemimpin. Lebih parah lagi kalau sang pemimpin memiliki staf yang hebat namun dia terlihat buruk.. nah lokasian amat, kalau situasinya begitu yah.. mungkin sudah harus sadar diri, meletakkan kepemimpinan dan mau dipimpin.

Anyway lagi, maka peran staf tak beda dengan peran pemimpin. Staf harus bisa memimpin diri sendiri dari hal yang terkesan remeh-temeh mulai soal mengatur waktu hingga memenuhi target pekerjaan yang disepakati. Saat menulis artikel ini, saya sendiri sadar, bahwa sebagai staf saya tidak bisa memilih pemimpin saya. Pemimpin saya “given by” bukan “I choose to be lead by”. So, sebagai staf saya harus bisa membuat pemimpin saya terlihat baik, bagaimana caranya? Dengan bekerja optimal, sesuai target, sesuai rencana, tidak usah banyak tanya, berikan solusi lebih banyak dibanding kritik, tak perlu ngomong di belakang, just do it and let God do the rest. Pasrah? Nggak, ini namanya berserah.

Anyway lagi dan lagi, tim ini sungguh keren.. berbeda watak, beragam usia, beragam pemikiran (maksudnya ada yang mikir dan ada merasa bukan tugasnya mikir, dan itu memang betul dan bisa diterima), dan beragam-ragam hal lainnya. Tapi ketika bicara anak, kepentingan anak, yang terbaik buat anak, segalanya tentang anak, hanya satu yang ada di pikiran: kerja, kerja, kerja… 

Mudah-mudahan tim ini tetap solid… and may it keep become the best team ever! HUA!*

*HUA: Heard, Understood, Acknowleged

Selasa, 15 Maret 2016

Usia 39: Selalu ada Waktu untuk Bersyukur!


Usia 39. Sumber gambar: homebodyholly.com


Angka 39 itu angka yang unik! Paling tidak itu yang saya temukan jika mengetikkan angka itu di mesin pencari Google. Konon angka 39 itu adalah hasil penjumlahan premis konsekutif (jangan tanya apa artinya…) yaitu 3+5+7+11+13. Pokoknya angka ini sepertinya istimewa. Ada yang bilang 39 itu adalah Perfect Totient Number dan ada pula yang bilang Stormer Number. Entah apa maksudnya. Yang saya pahami memang betul kalau tiga pangkat satu (3) ditambah 3 pangkat 2 (9) dan ditambah lagi dengan tiga pangkat 3 (27) hasilnya adalah 39.

Kita sudahi saja membahas hitung-hitungan itu. Toh saya bukan ahli matematika. Bukan pula orang yang suka dengan hitung menghitung (kecuali menghitung sisa saldo di tabungan he..3x). Tapi ternyata bukan dari hitung menghitung saja, di berbagai bidang angka 39 ini ternyata bermakna pula. Di agama, ada 39 kitab di Perjanjian Lama menurut Kristen Protestan, ada 39 pernyataan (39 articles) di gereja Anglikan. Di bidang musik, ada banyak lagu berjudul “39”, salah satu yang terkenal adalah yang dibawakan oleh Queen dalam A night at the opera. Dalam sejarah, jika seorang budak dihukum cambuk sebanyak 40 kali maka jumlah total cambukan yang dia terima adalah 39 kali (forty save one). Yang terakhir, yang paling saya sukai, ternyata 39 adalah bahasa slang dalam keseharian orang Jepang (mungkin kalau pas lagi sms atau WA kali ya..) untuk mengatakan “terima kasih” atau “thank you”. Tiga adalah “san” dan sembilan adalah “kyuu”. Sangat menarik mengetahui banyak hal tentang angka 39 ini.. 

Namun, buat saya 39 adalah pertambahan usia yang saya jalani hari ini. Hari ini 15 Maret 1977 tiga puluh sembilan tahun lalu saya dilahirkan. Banyak sudah yang dijalani. Banyak kisah haru biru. Banyak kisah senang. Banyak duka dan suka. Saya masih ingat tiga tahun lalu, saat berulang tahun juga, ada hadiah yang sangat menggembirakan, apa lagi kalau bukan si kecil berambut gondrong yang sekarang telah menjelma menjadi anak perempuan yang ceriwis. Sayang pagi tadi dia tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun untuk papanya. Katanya papanya nakal. Hahhh… kalau kamu tahu betapa rindunya papa denganmu nak… 

Yang pasti, entah sampai berapapun usia saya nanti, saya selalu yakin akan ada banyak waktu untuk bersyukur. Bersyukur setiap saat dan setiap waktu kala kita ingat akan banyak hal yang wajib kita syukuri. Bersyukur kalau masih bisa diberikan nafas. Kesehatan yang baik untuk diri sendiri, anak dan istri. Masih punya pekerjaan. Masih punya sahabat dan teman. Masih punya orang tua dan sanak saudara. Masih punya tempat tinggal. Masih punya ini dan masih punya itu… Suatu saat bisa saja semua itu tak ada lagi. Hilang, karena Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Begitu kata Ayub. Tapi Yub, jujur saja, saya mungkin nggak sekuat dikau he..3x

Jadi, happy birthday to me… happy birthday to me… happy birthday…. Happy birthday…. Happy birthday to me.. Terimakasih Tuhan Yesus atas segalanya. YOU are the best My Lord! San Kyuu…