Selasa, 21 Agustus 2012

Hati-hati, si opurtunis yang berpotensi merusak organisasi!

Selamat siang semuanya!

Akhirnya saya memperoleh kesempatan untuk menulis lagi dengan laptop pinjaman di tempat kerja saya yang baru. Sebenarnya ada hal yang men trigger saya untuk segera kembali menulis. Kemarin lagi-lagi saya mendengar kabar dari seorang teman tentang perilaku ex pimpinan saya di tempat tugas saya yang lalu. Mantan pimpinan saya tersebut menurut saya adalah orang yang opurtunis. Memang ada juga makna yang baik dalam kata opurtunis yaitu orang yang selalu menggunakan setiap kesempatan yang datang (dalam arti positif dam membangun). Tetapi dalam diri beliau saya melihat makna opurtunis dalam arti sebaliknya (negatif). Namun supaya saya tidak asal sebut maka saya berusaha mencari makna atau arti kata itu dalam kamus online. Ini dia maknanya:
conqueryourbeing.com

Opurtunis (opportunist) adalah seseorang yang mempraktekkan opportunism (dictionary.reference.com).  Apa itu opportunism? Opportunism is the conscious policy and practice of taking selfish advantage of circumstances – with little regard for principles, or with what the consequences are for others. Opportunist actions are expedient actions guided primarily by self-interested motives. The term can be applied to individual humans and living organisms, groups, organizations, styles, behaviours, and trends. (Wikipedia)

Di referensi yang lain, opurtunis juga berarti "One who takes advantage of any opportunity to achieve an end, often with no regard for principles or consequences." (thefreedictionary.com). Nah, kalau memperhatikan dua definisi tersebut berarti benarlah apa yang saya rasakan terhadap mantan pimpinan saya tersebut. Lho kenapa begitu? Kenapa saya bisa dengan gamblang menyatakan kalau beliau adalah seorang opurtunis? Pertama, beliau jelas mempraktekkan prinsip opportunism. Yaitu mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri tanpa memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ada sebelumnya. Contoh: di organisasi dimana saya bekerja, cuti untuk kembali ke tempat asal itu telah diatur sedemikian rupa dan tercantum dengan jelas dalam buku pedoman kepegawaian. Jika si A yang daerah asalnya (daerah dimana ia direkrut) adalah Jakarta, kemudian bekerja di suatu daerah maka ia berhak untuk kembali ke Jakarta dengan dibiayai semua transportasi hingga biaya transit setiap sekian tahun sekali. Lain halnya dengan beliau ini. Sudah jelas tercantum di buku pedoman kepegawaian mengenai hak cuti tersebut, masih saja beliau meminta pengecualian khusus agar bisa cuti ke tempat asal dalam waktu yang lebih singkat dari seharusnya. Sayangnya, manajemen menyetujui hal ini dan beliau pun dengan bangga menyampaikan "keberhasilan" negosiasi dengan manajemen itu ke para staf lokal yang jelas-jelas tidak punya "jatah" cuti kembali ke tempat asal.  Praktek opportunism lain yang beliau terapkan adalah dalam menjalankan kewajiban atau tugas beliau sebagai pimpinan wilayah. Sebagai pimpinan di wilayah tersebut sebenarnya fungsi advokasi ke pemerintah adalah bagian dari kerja beliau. Juga fungsi lain terkait pengembangan wilayah di daerah tersebut. Namun apa yang terjadi? Semua fungsi tersebut tidak dijalankan oleh beliau tetapi dikerjakan oleh bawahan-bawahannya. Ketika tiba waktunya membuat laporan beliaupun dengan bangganya menyatakan bahwa semua itu beliau yang mengerjakan. Jadi nyata sekali prinsip opportunism yang dijalankan beliau. Yaitu mengambil keuntungan (dalam hal ini beliau mendapat nama) dari hasil kerja orang lain (bawahan beliau).
Kedua, tindakan-tindakan (actions) yang diambil beliau lebih banyak bermotif untuk keuntungan pribadi (taking selfish advantage). Contoh: beliau mengurusi perumahan staf untuk kepentingan beliau sendiri. Belum selesai kontrak rumah yang satu, beliau mencari rumah lain yang lebih nyaman untuk ditempati. Akhirnya ada rumah yang dikontrak organisasi menjadi terbengkalai karena tidak digunakan. Contoh lain dari upaya beliau memperoleh keuntungan pribadi juga terlihat dari aksi beliau mengambil alih capacity building yang seharusnya diikuti oleh salah satu staf yang adalah bawahan beliau. Ceritanya begini, ada satu pelatihan yang seharusnya diikuti oleh si B dan sudah didaftarkan atas nama si B, kemudian dibayarkan atas nama si B namun pada saat waktu pelatihan tiba malah digantikan oleh beliau. Apa tujuannya? Tujuannya jelas untuk menambah hari-hari di luar tempat tugas. Alasan beliau klise, yaitu supaya lebih banyak waktu berkumpul bersama keluarga di Jakarta. Kalau mau dikatakan alasannya adalah karena anak dan istri yang ada di Jakarta, menurut saya agak kurang tepat. Mengapa? Karena hidup ini penuh dengan pilihan. Manakala suatu keluarga memutuskan untuk tinggal berjauhan (suami jauh dari istri dan anak-anak) maka keluarga itu harus siap dengan konsekuensinya. Organisasi sudah menyediakan rumah yang layak untuk keluarga beliau namun yah.. itu tadi kalau itu dirasa tidak cukup dan akhirnya mereka (keluarga beliau) harus membuat pilihan sendiri, janganlah itu kemudian jadi alasan untuk menambah hari-hari cuti. Apalagi, dijadikan alasan untuk merengek-rengek minta pindah padahal beliau belum ada dua tahun bertugas di salah satu kota di Papua tersebut.

Belum lagi bicara soal manajemen dan program yang dikelola oleh beliau. Selama ini Job Description beliau tidak pernah dipaparkan ke para bawahan langsungnya. Ini membuat saya tidak tahu sebenarnya apa target kerja beliau? Komunikasi antar bawahanpun sepertinya tidak dibangun dengan baik. Beliau hanya berbicara ke salah satu (atau salah dua?) bawahan tertentu dan bawahan lain dipaksa harus tahu, itupun sering tahunya terlambat. Dari sisi efisiensi pemanfaatan ruang kantor, beliau jarang atau bisa dikatakan tidak pernah berkantor di ruangannya di kantor salah satu proyek. Inipun semakin diperparah dengan tuntutan beliau untuk memiliki satu ruangan khusus di kompleks kantor saya yang lalu. Setelah ruangan itu jadi, dilengkapi dengan meja dan kursi, justru beliau tidak pernah berkantor di situ. Ruangan beliau di kompleks kantor saya dulu hanya sering dipakai untuk rapat yang digelar hingga jam makan siang dan setelah makan siang, beliau pun pergi tak tahu kemana.Apalagi kalau bicara soal program, semua harus dipaksakan untuk mengikuti cara berpikir beliau yang saya sendiri tidak mengerti sampai sekarang. Banyak program yang dirancang beliau akhirnya menjadi mubazir alias useless. Contoh: pembelian server untuk bank data yang sudah setahun dibeli namun tidak digunakan, radio anak yang terbengkalai, dan rencana satu kantor atau istilah beliau one management yang analisisnya menurut saya tidak jelas.

Organisasi ini harus bisa mengambil tindakan tegas untuk hal-hal seperti ini atau orang-orang opurtunis seperti ini. Memang organisasi sudah punya beberapa tools untuk menilai kinerja stafnya. Diantaranya adalah survey 360 derajat yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Namun apakah hasilnya kemudian dianalisis? Jika hasilnya dianalisis kenapa sepertinya tidak ada perubahan yang terjadi?


http://skmrchy.blogspot.com/2011/08/do-you-know-any-opportunist-in-your.html
Di tengah-tengah kesulitan dalam program dan manajemen di wilayah tempat tugas saya dulu, di tengah-tengah kemampuan pengawasan yang sangat minim di level regio, maka seorang pimpinan di wilayah itu haruslah orang yang mampu menjadi jawaban atas hal-hal tersebut.

Saya pribadi sebenarnya ingin mendiskusikan hal ini secara panjang lebar dengan beliau, tapi berdasarkan pengalaman saya beliau ini tidak suka dikritik. Orangnya cenderung defense alias cepat membela diri. Beberapa waktu lalu sempat saya mengomentari email beliau yang dibuat dalam bahasa Inggris tak berstruktur, eh..malah saya dibilang merendahkan beliau. Belum lagi kegemaran beliau melibatkan banyak pihak jika dikritik. Email-email ditembuskan ke pimpinan yang lebih tinggi bahkan hingga ke level direktur. Ketika saya datangi sambil berharap beliau berani menyampaikan langsung ke saya, hal-hal tersebut malah tidak dibicarakan. Beliau lebih suka membicarakan tentang diri saya di belakang (beberapa teman menyampaikan ke saya tentang hal ini), tidak berani bicara langsung bertatap muka dengan saya. Ingin sekali saya sebenarnya membuat analisis mengenai hal ini, tapi yah.. sudahlah semua orang sudah tahu. Kalau seseorang itu tidak berani bertatap muka langsung atau hanya berani omong di belakang berarti ada yang salah dengan orang itu.

Di kemudian hari, organisasi juga harus berhati-hati dalam menempatkan seorang opurtunis di posisi yang strategis. Salah-salah nama baik organisasi bisa rusak atau hancur dalam sekejap. Nama baik yang sudah dikenal masyarakat selama 30 tahun bisa sirna dalam sekejap oleh perilaku si opurtunis.
Akhirnya, cuma tulisan ini yang bisa saya buat. Paling tidak setelah menulis ini kejengkelan saya agak reda. Saya teringat kata-kata mutiara dari beberapa tokoh, “There are no bad troops. There are only bad leaders” (Brigadier General S.L.A. Marshall) dan, “There are no bad soldiers, only bad officers” yang dikatakan oleh Napoleon Bonaparte (1769 – 1821).