Kamis, 30 Mei 2013

Kuliah Sehari tentang BCC bersama Oedojo Soedirham, MD, MPH, MA, PhD



Tanggal 22 Mei 2013 yang lalu bertempat di restoran Mahameru, beberapa staf Wahana Visi Indonesia Urban Surabaya berkesempatan mengikuti workshop tentang BCC (Behavior Change Communication) yang difasilitasi oleh Bapak dokter Oedojo Soedirham. Mungkin karena beliau juga adalah seorang akademisi (beliau adalah staf pengajar di Departement of Health Promotion and Behavioral Sciences, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UNAIR), selain sebagai Ketua Forum Kota Sehat Surabaya, lebih tepat kalau saya sebut kuliah sehari ketimbang menyebutnya sebagai workshop.

Dokter Oedojo dalam kuliah sehari tentang BCC di Mahameru Restaurant Surabaya
Acara kuliah sehari itu dibuka dengan beberapa penjelasan dan doa oleh Pak Nanang (staf Wahana Visi Indonesia) dan kemudian dilanjutkan dengan perkenalan singkat tentang Wahana Visi Indonesia yang disampaikan oleh Bapak Abraham Sitompul selaku Urban Manager WVI Urban Surabaya. Kemudian untuk mencairkan suasana, masing-masing peserta atau staf yang hadir saat itu memperkenalkan diri juga kepada nara sumber.

Sebelum memulai dengan materi kuliah, Pak Oedojo memberikan sedikit pengantar tentang definisi “sehat”. Ternyata kalau bicara soal “sehat” maka kita tidak lagi hanya berbicara masalah kesehatan saja melainkan banyak faktor. Sehat tidak selalu bicara soal physical wellbeing, tapi juga mencakup mental dan psychological wellbeing. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang dimiliki oleh Indonesia sudah berbicara soal spiritual well-being. Namun lagi-lagi pada pelaksanaannya menemui banyak kendala. Kendala yang dihadapi dalam menafsirkan “sehat” dalam banyak sektor biasanya berhubungan dengan masalah anggaran.

Materi kuliah dimulai dengan pengantar tentang apa-apa saja yang mempengaruhi behavior atau perilaku manusia. Yang jelas budaya (culture), perilaku (behavior), dan komunikasi (communication) saling berkaitan satu sama lain. Budaya akan membantu mempertajam perilaku (culture helps shape behavior). Berbicara budaya sendiri juga dipengaruhi oleh isi (context) budaya itu. Ada negara-negara dengan high context culture dan ada negara-negara dengan low context culture. Seperti apa penjabarannya agak kurang jelas saya mengerti, namun kalau kita perhatikan bahwa China, Korea, dan Jepang itu berada pada high context culture sedangkan di low context culture itu ada negara Jerman, Swiss, Amerika bagian Utara maka saya rasa kita bisa mengira-ngiralah apa yang dimaksud low context dan high context tadi. Sayang, Indonesia tidak disebutkan masuk kemana. Nah, selain budaya ada banyak faktor lain yaitu sikap (attitude), nilai-nilai (values), emosi, etika, otoritas, koersi, dan genetika. Rupanya, tidak hanya itu saja. Jika ada perbedaan lingkungan maka akan ada perbedaan masalah. Perbedaan masalah akan mempengaruhi faktor-faktor yang dipaparkan tadi.

Berbicara soal Behavioral Communication berarti berbicara tentang perilaku dari hari ke hari atau waktu ke waktu sebagai bentuk dari komunikasi. Sedangkan inti dari komunikasi itu sendiri adalah bagaimana suatu pesan bisa tersampaikan. Hal-hal sederhana yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari antara lain: gaya rambut yang ekspresif, cara seseorang memperlihatkan emosi, atau bahkan jika seseorang itu memutuskan untuk mencuci piring atau tidak mencuci piring adalah suatu bentuk komunikasi perilaku. Komunikasi perilaku tentu akan berbeda dan bisa tidak dimengerti oleh orang lain. Tantangan utamanya adalah Cultural Barrier yang terdiri dari: Semantik (bahasa), konotasi kata, perbedaan tone/ nada, dan perbedaan persepsi. Nanti bisa dilihat dalam gambar terlampir bahwa beda tanda atau “sign” yang ditampilkan atau diperagakan seseorang bisa beda penafsirannya oleh orang lain di berbagai belahan dunia.

Di banyak negara beda tanda bisa beda penafsiran (Sumber: Materi BCC Oedojo Soedirham)
Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan komunikasi itu sendiri? Hovland (1948) merumuskan komunikasi sebagai “proses di mana seorang komunikator mentransmisikan stimuli untuk memodifikasi perilaku orang lain”. Wilbur Schramm (1954) merumuskan komunikasi adalah “menyebabkan penerima dan pengirim saling bersesuaian terhadap pesan tertentu”. Sedangkan Astrid Susanto (1977) mengemukakan bahwa komunikasi adalah “proses pengoperan lambang-lambang yang mengandung arti”. Lalu Robins (1982) merumuskan komunikasi sebagai “perbuatan penyampaian suatu gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain”. Artinya, kalau mau disimpulkan, dalam komunikasi terjadi proses penyampaian pesan, gagasan, informasi dari seseorang terhadap orang lain. Penyampaian pesan, gagasan dan informasi ini disampaikan dengan menggunakan lambang-lambang tertentu . Nah, penyampaian pesan, gagasan dan informasi dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan lambang ini merupakan suatu proses dimana pesan, gagasan dan informasi yang disampaikan diharapkan dapat menimbulkan pengaruh dalam bentuk perubahan tingkah laku si penerima.

Lain lagi kalau berbicara tentang perilaku (behavior). Berbicara tentang perilaku tentunya akan terbagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu perilaku beresiko dan perilaku tidak beresiko. Maka kalau kita mengharapkan adanya perubahan perilaku, ada dua bagian besar yang akan dikerjakan yaitu bagaimana merubah apa yang “risky” behavior menjadi “safe” behavior dan yang kedua bagaimana mempertahankan perilaku yang sudah “safe” (maintain safe behavior). Dari sini kita akan tahu bahwa target utama untuk perubahan perilaku adalah orang-orang dengan “risky” behavior.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam “merubah perilaku”. Tahapan tersebut adalah: Knowledge, Approval, Intention, Practice, dan Advocacy (memotivasi orang lain untuk berubah setelah dirinya sendiri berubah). Lalu apa BCC itu sendiri?

Behavior change communication (BCC) is a process of any intervention with individuals, communities and/or societies to develop communication strategies to promote positive behaviors which are appropriate to their settings. This in turn provides a supportive environment which will enable people to initiate and sustain positive and desirable behavior outcomes. BCC should not be confused with behavior modification, a term with specific meaning in a clinical psychiatry setting. Lho kok jadi bahasa Inggris? Yah, menurut Pak Oedojo sulit untuk menafsirkannya dalam bahasa Indonesia dan karena saya setuju dengan beliau, jadi saya copy paste kan saja ya.. :-)

Yang jelas dalam penerapannya BCC itu adala proses yang kontinu. Kalau kita mengerti siapa sasaran BCC, misalnya sasarannya adalah orang dewasa yang ingin dirubah perilakunya maka metode yang akan kita gunakan adalah metode Andragogi yaitu metode pengajaran pada orang dewasa dan bukan metode Pedagogi (metode pengajaran pada anak). Metode-metode ini nanti akan kita bahas kemudian jika saya ada waktu men-searching atau mengumpulkan informasinya. Metode lain yang harus dipikirkan adalah bagaimana bentuk BCC itu sendiri apakah BCC akan disampaikan secara interpersonal atau melalui mass-media?

Oh iya, BCC sendiri sering disalah artikan dengan banyak nama misalnya: IEC, health education, health promotion, AIDS education, atau social marketing. Memang ada kesamaan dalam penamaan tersebut yaitu unsur komunikasi yang ada di dalamnya namun menurut Pak Oedojo mereka berbeda dalam sisi scoupe nya.

Jika ingin men-develop BCC maka pertimbangkanlah beberapa hal berikut ini: Kualitas dan kreatifitas yang professional, pandangan/ masukan dari health professional, memasukkan nilai-nilai (values), dan adanya partisipasi masyarakat yang diharapkan (community participation). Kalau BCC yang didevelop akan menggunakan metode interpersonal maka pastikan untuk melibatkan orang-orang yang cukup dikenal di level orang-orang yang ingin dirubah perilakunya. Untuk ini pendekatan dengan metode peer education sangat disarankan.

Selanjutnya Pak Oedojo melanjutkan dengan beberapa teori tentang perubahan perilaku. Ternyata teorinya cukup banyak juga. Ada teori tentang Health Belief Model (HBM). Teori tentang kehendak Tuhan (Perception of Divine Will). Dan ada juga teori tentang Reasoned Action (TRA) vs Theory of Planned Behavior (TPB). Sebelum teori tersebut dijelaskan, lebih dahulu dipaparkan juga tentang Barrier Analysis. Lewat Barrier Analysis kita dapat membuat target dari awal tentang perubahan perilaku apa yang kita harapkan dan bagaimana prosesnya dalam melewati hambatan atau barrier yang ada. Nih, simak dalam versi Inggrisnya: Barrier Analysis is a rapid assessment tool used in community health and other community development projects to identify behavioral determinants associated with a particular behavior so that more effective behavior change communication messages and support activities (e.g., changing social norms) can be developed.

Langkah-langkah melakukan Barrier Analysis (Sumber: Materi BCC Oedojo Soedirham)
Health Belief Model sendiri adalah teori yang cukup dikenal di Amerika untuk health-education. Lewat HBM pelaku BCC akan dibantu agar sasaran dapat: Merasakan kerentanan (perceived susceptibility), merasakan kekerasan (perceived severity), merasakan manfaat jika merubah perilaku (perceived benefits), mengisyaratkan perubahan (ada aksi atau tanda-tanda ingin berubah/ cues for action), dan akhirnya mulai merasakan efektifitas diri (perceived self-efficacy).

Sedangkan Theory of Reasoned Action dapat digunakan untuk memprediksi apakah memang perubahan perilaku yang diharapkan itu akan berhasil atau tidak. Setiap intervensi yang dilakukan, menurut TRA harus memperhatikan perubahan sikap yang dihasilkan dan pandangan subyektif yang dirasakan atas norma yang ingin dibuat. Dengan memperhatikan kedua hal ini maka perilaku positif akan terjadi jika kedua unsur yang dipertimbangkan tadi berhasil positif juga.

TRA dan TPB dalam perubahan perilaku (Sumber: Materi BCC Oedojo Soedirham)
TPB sendiri hampir mirip dengan TRA hanya mempertimbangkan penggunaan kontrol dan power (kekuatan). Dengan tambahan 2 (dua) hal ini maka perubahan perilaku akan lebih mudah diharapkan untuk berhasil.

Akhirnya, penyampaian materi selesai juga. Sesi tanya jawab pun dimulai. Ada banyak pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman staf. Yang jelas, kembali lagi kepada proses. Tidak ada proses yang singkat untuk perubahan perilaku. Metode yang akan digunakan harus tepat sasaran dengan mempertimbangkan penggunaan Barrier Analysis. Dan yang terpenting menunjukkan bahwa si pelaku yang ingin merubah perilaku orang lain harus juga berubah.

Acara kuliah sehari itupun selesai dan ditutup dengan makan siang bersama. Wah, boleh juga sering-sering acara seperti ini ya.. menambah ilmu sekaligus menghemat pengeluaran ... :-)

Sampai bertemu dalam share materi-materi lainnya!