Kamis, 27 September 2012

“Ayam (itik) Punya Telur, Sapi Punya Nama”


Ini telur mata sapi
Membaca judul di atas pasti sebagian besar pembaca agak bingung, sebenarnya arah artikel ini mau dibawa ke mana ya? Apakah ini artikel tentang masak-memasak atau tentang hal lain?

Nah, untuk memudahkan pembaca, sebelumnya saya ingin bertanya, “Pernahkah pembaca menikmati sepotong telur mata sapi?”. Telur mata sapi adalah telur ayam (itik) yang digoreng tanpa diaduk dahulu (kuning telurnya masih utuh) ini deskripsi yang saya dapatkan dari kamus besar bahasa Indonesia online. Kalau bicara bahasa Inggrisnya lebih seru lagi. Yang pasti bukan cow’s eye egg tapi bermacam-macam tergantung jenis yang kita mau. Secara umum bahasa Inggrisnya adalah 'fried egg' (makna harafiahnya adalah 'telur goreng'). Memang cara membuat telur mata sapi ini ada banyak ragamnya, misalnya yang digoreng pada satu sisi saja di mana kuning telurnya terletak di atas yang dinamakan 'sunny-side up'. Ada pula yang digoreng bolak balik setengah matang dinamakan 'over easy', yang sedikit lebih matang dinamakan 'over medium' dan yang matang dinamakan 'over well'. Dalam bahasa Belanda telur mata sapi disebut dengan ‘spiegelei’ (spiegel = cermin, ei = telur) (http://bahasa.kompasiana.com/2012/09/12/apa-sih-bahasa-inggrisnya-telur-mata-sapi/)

Lha kok jadi belajar bahasa? Yuk, kembali ke laptop (Tukul mode: ON). Sebenarnya yang jadi masalah adalah ketika saya berulangkali mendengar judul di atas (ayam punya telur, sapi punya nama) diucapkan oleh salah satu teman saya. Kalau dipikir-pikir benar juga ya? Kenapa tidak pernah terpikir oleh saya untuk menanyakan hal tersebut pada ahlinya (ahlinya telur atau ahlinya sapi yang paling pas ya?). Kenapa tidak disebut telur mata ayam saja? Tapi nanti jadi salah juga karena ayam (itik) yang bertelur, bukan matanya. Sementara kita juga tahu kalau sapi itu beranak tidak bertelur. Sayangnya ayam tidak pernah protes kepada sapi mengenai hal ini. Tapi mungkin itu karena si sapi juga tidak tahu kalau namanya dipakai sebagai nama masakan berbahan dasar telur ayam (itik) itu. (http://kangpay.wordpress.com/2011/09/16/telor-mata-sapi/).

Tapi sebenarnya bukan masalah istilah itu benar atau tidak yang dipersoalkan oleh teman saya tadi. Yang menjadi persoalan baginya adalah ketika realita itu ditemukan dalam keseharian di lingkup kerjanya. Ada pekerjaan yang nyata-nyata teman saya tadi yang melakukan (si ayam atau si itik) namun dengan santai diklaim oleh seseorang (si sapi) sebagai pekerjaannya. Tentu saja pekerjaan yang bagus-bagus saja yang diklaim oleh orang tadi. Ketika teman saya jatuh dalam persoalan atau pekerjaan yang dilakukannya kurang baik maka itu tidak diklaim sebagai keberhasilan orang tadi. Saya agak kurang sependapat jika judul di atas dikaitkan dengan realita itu. Orang tadi jelas mengklaim pekerjaan teman saya, sementara sapi tidak jelas-jelas mengklaim pekerjaan ayam (itik) he..3x. Yang jelas dari realita di atas, terlepas dari istilah apa yang tepat digunakan, sering kita temui dalam dunia kerja kita. Kadang satu ide brilian datang dari kita tanpa kita sadari dicomot begitu saja oleh orang lain sebagai idenya dia. Kadang kita melakukan pekerjaan baik dalam satu tim, eh..salah satu anggota tim atau ketua tim dengan enteng mempublikasikan ke orang lain bahwa itu pekerjaannya.

Kalau dalam satu level yang sama atau sejajar di dunia kerja, mungkin masih dapat dibicarakan dengan baik sesama rekan kerja. Yang sulit adalah ketika atasan memerintahkan bawahan melakukan suatu pekerjaan (yang mungkin seharusnya pekerjaan si atasan) dan berhasil baik, lalu diklaim sebagai pekerjaan si atasan tanpa menyebutkan peran dari bawahannya. Kalau sudah begini, si bawahan paling-paling hanya bisa legowo. Hanya bisa ngedumel di belakang. Habis mau bagaimana? Nanti repot urusannya ke depan. Karir bisa jadi pendek. Rejeki bisa mampet. Yang pasti harus ada rasa saling menghargai di antara sesama rekan kerja maupun antara atasan dan bawahan. Pengakuan (reward) atas pekerjaan atau keberhasilan seseorang itu penting.

Kasihan juga teman saya. Tiap kali bekerja baik, atasannya yang dapat nama. Padahal ia yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan atasannya saat atasannya itu sering tidak berada di tempat. Kalau sudah begitu, ia hanya bisa ngedumel sambil menggumam, “ayam punya telur, sapi punya nama..”. Seenak-enaknya telur mata sapi, biarlah kita tetap mengingat kalau itu tetaplah telur ayam (itik).

Senin, 10 September 2012

Urusan Pekerjaan vs Urusan Pertemanan



Suatu kali saya terlibat diskusi panjang lebar dengan seorang teman dalam satu pertemuan rutin bulanan. Diskusi ini adalah diskusi masalah program atau pekerjaan. Dalam diskusi tersebut banyak pendapat teman tersebut yang saya sanggah dengan menggunakan fakta-fakta dan data-data yang ada. Saya juga mencoba memberikan beberapa solusi yang masih berhubungan dengan data dan fakta yang cukup aktual. Teman saya tersebut sepertinya tidak bisa menerima sanggahan yang saya berikan. Demikian pula dengan solusi yang saya ajukan. Pada prinsipnya dia ingin idenya diterima dan ide itulah yang diterapkan.

Diskusi pun berakhir. Karena itu adalah proyeknya teman saya tersebut maka saya tidak lagi ikut mencampuri hal-hal teknis yang berkaitan dengan hasil diskusi tadi. Intinya, dia ingin idenya yang dijalankan dan itu akhirnya diterima sebagai hasil diskusi bersama.

Keesokan harinya saya bertemu lagi dengan teman saya tersebut. Kebetulan kami sudah berteman cukup lama. Kira-kira sudah lebih dari lima tahun. Ketika bertemu, si teman itu langsung membuang muka dan saya pun tidak ditegur. Dalam kesempatan lain saya bertemu dengannya -kebetulan saat itu juga ada teman yang lain- teman saya tadi tidak mau langsung berbicara dengan saya. Dia hanya mengajak teman saya yang satunya saja berbicara. Beberapa pertanyaan atau lontaran pernyataan yang saya ajukan tidak dijawab, bahkan diabaikan sama sekali.

Apa yang sebenarnya terjadi? Usut punya usut rupanya itu adalah buntut dari alotnya diskusi yang pernah terjadi dulu. Menurut teman saya tadi (ini berdasarkan informasi dari teman yang lain), dia sedang jengkel dengan saya karena tidak mau serta merta menerima pendapatnya waktu diskusi lalu. Nah lu…

Masalah seperti ini sering kita temui dalam lingkup pekerjaan kita entah dimanapun itu. Lebih-lebih untuk saya yang bekerja di bidang sosial, sering masalah pribadi sepertinya dicampur aduk dengan masalah pekerjaan. Contoh: Jika ada rekan kerja yang tidak suka secara personal dengan saya, maka semua yang saya katakan pasti selalu salah. Baik itu dalam diskusi atau dalam kesempatan apapun. Jika saya menyampaikan suatu pernyataan pasti langsung disanggah dengan semangat. Jangan-jangan saya masih bilang, “aa…” sudah langsung disanggah. Contoh lainnya adalah kebalikannya seperti kisah teman saya tadi. Ketika diskusi sangat alot dalam lingkup pekerjaan akhirnya malah terbawa-bawa dalam lingkup pertemanan. Yang tadinya teman bisa tidak teman lagi. Yang tadinya konco dan sering ngumpul bareng bisa ngga konco lagi dan akhirnya ngga ngumpul bareng lagi.

Lalu bagaimana mengatasinya? Mau tidak mau harus diomongin. Tidak bisa didiamkan saja dan berharap suatu saat akan adem-ayem alias damai kembali. Akhirnya saya mengambil waktu untuk bicara dengan teman saya tadi. Saya jelaskan bahwa kita harus bisa membedakan urusan pekerjaan dan urusan pertemanan. Kita boleh gontok-gontokan atau kalau perlu sampai pukul meja (kasihan juga tuh meja..) kalau bicara soal program atau pekerjaan. Tapi di luar, sebagai teman ya kita tetap sebagai teman. Masih bisa jalan sama-sama. Masih bisa tertawa-tawa sama-sama. Nonton bareng, ngumpul bareng dan lain-lain. Memang sih sulit.. tapi di sinilah perlunya EQ itu. Teman saya manggut-manggut. Kami pun bersalaman dan tersenyum-senyum sendiri.