Selasa, 12 Juli 2016

Bola Merah di Sudut Kamar



Judul di atas adalah judul cerpen yang saya buat untuk mengikuti lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Faber Castell di tahun 2015. Waktu itu adalah kali kedua saya mengikuti lomba menulis cerpen oleh penyelenggara yang sama. Di tahun sebelumnya saya tidak lolos, masuk finalis pun tidak. Namun, kali ini berbeda. Walau semua proses berlanjut hingga awal tahun 2016 namun ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Saya berhasil meraih juara III kategori umum (kategori B) dengan judul cerpen di atas. Gembira sekaligus terharu, karena ini adalah kedua kalinya saya memenangkan lomba menulis cerpen. Lomba pertama yang saya menangkan adalah untuk cerpen berjudul “Nggak Beli Lotre Pa?” yang juga dapat dibaca pada blog ini.

Yang menarik adalah proses penjurian dimana banyak orang-orang yang sudah berpengalaman di bidang penulisan artikel, cerpen, dan media berkomentar memberikan penilaiannya. Saya cukup bangga menyimak komentar yang bisa saya dapatkan di laman web tulisen.com yang saya lampirkan gambarnya di bawah ini. Untuk link-nya dapat diklik di sini (mudah-mudahan link-nya masih aktif ya...).

Saya kutip komentarnya sebagai berikut:

Demikianlah, saya belum menemukan topik yang sesungguhnya cukup ‘nendang’ dalam lomba cerpen misteri ini. Dan ada yang menarik pada penjurian tahap dua. Saya dan Mbak Nina Moran Go Girl, nampaknya berselisih pendapat mengenai satu cerpen pada kategori B yang berjudul “Bola Merah di Sudut Kamar” saya memberikan nilai hampir sempurna, sementara Mbak Nina memberikan nilai separuh dari nilai yang saya berikan. Ini menarik! Karena menurut saya, walaupun cerpen yang menceritakan tentang orang yang sudah meninggal ini merupakan topik yang mainstream tetapi teknik bercerita yang sangat menarik dan ending yang mengejutkan! Teknik bercerita yang menarik itu karena Rachmat Willy Sitompul menggunakan dua sudut pandang sekaligus dalam satu cerpen, tanpa terasa memaksakan diri, mengalir dan menghasilkan ending yang mengejutkan. Semula saya mengira, tokoh yang meninggal adalah suaminya, tetapi ternyata justru istri dan anak perempuannya yang diceritakan pertama kali lah yang sudah meninggal. Awesome!

Sumber: tulisen.com

Wah senangnya manakala tulisan kita diberi komentar! Jikalau komentar itu seandainya bernada miring pun sebenarnya oke-oke saja. Itu akan membangun kita untuk menjadi lebih baik ke depannya. Apalagi jika komentar yang bernada positif tentunya harus semakin membuat kita bersemangat untuk karya-karya selanjutnya.

Tanpa berpanjang-panjang lagi. Silahkan disimak cerpen berjudul “Bola Merah di Sudut Kamar” berikut ini, mungkin dalam narasi ada perbedaan redaksional dengan yang di dalam buku kumpulan cerpen pemenang yang akan diterbitkan oleh Faber Castell karena tuntutan jumlah halaman, namun inti ceritanya sama, selamat membaca!

Bola Merah di Sudut Kamar – Juara III Kategori B Lomba Cerpen Faber Castell 2015

“Selamat pagi Ayah!” suara Nisa, bocah perempuan berusia tiga tahun itu memecah kesunyian pagi. Sambil menguap, Nisa berusaha membereskan sendiri tempat tidurnya yang berada dalam kamar ukuran tiga kali lima itu.
“Geser sedikit Ayah!” suara Nisa kembali terdengar. Yang dipanggil Ayah hanya tersenyum sambil sosoknya bergerak ke arah pinggir tempat tidur, turun sejenak dan kemudian kembali duduk di atasnya ketika Nisa merapikannya.
“Mandi dulu Ayah!” suara Nisa lagi-lagi memecah sunyi. Walau masih pukul enam pagi, gadis kecil itu bergegas mandi untuk mengikuti kelas PAUD hari itu.
“Nisa?” suara seorang perempuan terdengar mengiringi bunyi ketokan di pintu kamar. Itu Astuti, ibu Nisa. Dia berumur sekitar akhir dua puluhan. Cantik, dengan wajah khas keibuan.
“Sebentar Bu, sedikit lagi!” teriak Nisa kecil dari kamar mandi.
“Oke… cepat ya, jangan sampai kita terlambat!” suara sang ibu lagi menjawab Nisa sambil tersenyum dan berbalik pergi.

Nisa sudah selesai mandi. Masih berbalut handuk, Nisa mencari baju seragam sekolahnya. Lemari dibuka. Satu per satu baju yang tergantung disibakkan. Ketika menemukan seragamnya, Nisa tersadar sesuatu.
“Ayah, jangan ngintip ya.. Nisa malu!”
Sosok yang dipanggil sang Ayah itu lagi-lagi hanya tersenyum. Dia menaruh kedua tangan menutupi matanya sambil tetap tak bersuara.
“Nisa? Sudah” suara sang ibu kembali terdengar. “Kalau sudah lekas turun, sarapannya dibawa saja ya? Kita sudah hampir terlambat nih…”
“Oke Bu… sebentar..” jawab Nisa sambil menyisir rambutnya. Nisa selalu mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda. Lebih cepat dan mudah pengaturannya, begitu pikir Nisa. Heran, walau masih berusia tiga tahun, anak itu sudah mengerti hal-hal yang praktis.
“Daaah.. Ayah…” Nisa melambaikan tangan ke arah sudut kamar. Sosok yang dipanggil Ayah lagi-lagi hanya tersenyum dan melambaikan tangan membalas salam Nisa.
Suara mobil terdengar meraung sebentar sebelum akhirnya menghilang. Kamar itu kembali sunyi. Rumah itu kembali sunyi.

Jam pelajaran kelas PAUD tidak terlalu lama. Kelas biasanya dibubarkan sekitar pukul  setengah sepuluh pagi. Karena waktu belajar yang singkat, hampir semua orang tua menunggui anak mereka.
Seperti biasa pelajaran di kelas PAUD selalu menyenangkan. Demikian pula hari itu. Nisa sangat senang dengan pelajaran yang didapatnya. Ibu guru Rani mengajar dengan baik. Senyumnya sangat ramah. Nisa sangat senang dengan ibu guru Rani. Disalam Nisa tangan ibu gurunya itu sebelum beranjak pulang.
Suara mobil kembali terdengar memasuki pekarangan rumah itu. Ketika mobil berhenti di depan garasi, Nisa bergegas turun. Dengan lincah Nisa membuka pintu depan dan bergegas menaiki anak tangga satu demi satu menuju ke kamarnya.

“Ayah… Nisa pulang!” teriak Nisa senang. Nisa langsung melepas sepatunya dan langsung melompat ke atas tempat tidur untuk memeluk sosok yang dipanggil Ayah itu. Yang dipeluk hanya tersenyum. Sang Ayah sejenak beradu kening dengan putrinya. Keduanya bertatapan sejenak melepas rindu.
“Mana bolanya?” kata Nisa sambil melirik ke sudut kamar. Mata sang Ayah juga melirik ke sudut kamar. Di sudut kamar itu ada sebuah bola berwarna merah. Ukurannya tidak terlalu besar. Cukup ringan untuk diangkat oleh seorang anak kecil. Nisa turun dari tempat tidur dan bergegas mengambil bola itu.
“Tangkap Ayah…” Nisa berseru sambil melempar bola itu. Bola rupanya memantul ke dinding dan kembali pada Nisa.
“Nisa… ayo turun… makan siang dulu!” suara Astuti terdengar dari ruang tengah rumah itu. Wajah Nisa sedikit kecewa. Permainan bolanya terganggu karena harus makan siang. Sang Ayah hanya tersenyum seolah mengatakan agar Nisa makan siang dulu. Nisa balas tersenyum sambil memegang perutnya.
“Lapar…” kata Nisa. “Nisa makan dulu ya Ayah. Nanti kita main lagi… “ kata Nisa lagi sambil melambaikan tangannya sekilas dan langsung menuju ke pintu kamar.
Kamar itu kembali hening. Namun tak lama suara dua pasang tapak kaki menaiki satu demi satu anak tangga terdengar. 

“Ayo Bu sekali-sekali kita main sama Ayah..” suara Nisa terdengar. Sang ibu hanya tersenyum. Astuti bergerak buru-buru mengambil beberapa baju Nisa yang sudah kotor dan mengelompokkannya di sudut kamar.
“Ayolah Bu.. itu lihat Ayah sudah menunggu…” pinta Nisa lagi sambil menarik tangan ibunya.
“Nisa saja ya… Ibu masih harus menyetrika pakaian di bawah..” Astuti menjawab dengan lirih. Matanya tampak berkaca-kaca namun dia berusaha agar tak menumpahkan air mata di hadapan Nisa.
“Ah ibu… “ suara Nisa kecewa. Namun sepertinya rasa kecewa Nisa tidak lama. Nisa kembali mengambil bola merah di sudut kamar itu dan mulai memainkannya. Bola itu terpantul ke dinding dan ditangkap kembali oleh Nisa.
“Lempar Ayah…”
“Wah… bolanya lepas Ayah..”

Suara Nisa memenuhi seisi kamar itu. Astuti hanya memandang Nisa. Mengusap matanya sebentar agar tidak jadi menangis. Kemudian cepat-cepat dimasukkannya pakaian Nisa yang telah disetrika dengan rapi ke lemari pakaian.
“Nisa, ibu turun dulu ya…” suara Astuti terdengar memecah keramaian suara Nisa yang sedang bermain bola. Nisa hanya melirik sekilas ke ibunya sebagai jawaban. Nisa pun kembali bermain.
Siang itu berlalu begitu cepat. Lelah bermain bola, Nisa naik ke atas tempat tidur. Duduk di samping sang Ayah. Mereka berdua membolak-balik sebuah buku cerita hingga akhirnya Nisa lelah dan tertidur dipangkuan sang Ayah. Suasana berubah sunyi. Bola merah itu terdiam di tempatnya di sudut kamar.

***
Rangga tiba-tiba terbangun. Kesunyian itu tiba-tiba menyadarkan dirinya. Setiap kali bola merah disudut kamar itu bergerak, seketika itu juga suasana di kamar itu berubah. Ada sosok anak kecil dan kadang ada pula sosok seorang perempuan yang muncul. Tapi Rangga tak bisa berkata apapun kepada keduanya. Rangga hanya bisa berinteraksi dengan mimik wajah dan gerakan tubuh.  Tapi itu saja sudah cukup bagi Rangga. Sudah cukup untuk mengobati kerinduannya pada Nisa putrinya dan pada Astuti istrinya. Keduanya meninggal akibat kecelakaan tiga tahun yang lalu. 

Suasana kamar itu tak pernah berubah hingga kini. Bola merah itu masih tergeletak di sudut kamar dan sesekali bergerak dan mengubah sesaat suasana. Walau merasa heran, Rangga senang bisa kembali bertemu dengan Nisa dan Astuti. Tiba-tiba lamunan Rangga sejenak terputus oleh sebuah suara.

“Mas Rangga sayang.. sudah diminum obatnya?” suara itu suara Rani. Dia seorang ibu guru. Dia istri Rangga sekarang. Mobil Rani yang menabrak Astuti dan Nisa hingga tewas.