“Nggak
beli lotre Pa?” tanya Juariah ketika Joko suaminya baru pulang dari kantor.
Joko memandang Juariah dengan tatapan yang sama seperti hari kemarin dan
seperti hari kemarin lagi dan seperti hari yang kemarin-kemarin lagi. Sebenarnya
Joko bingung kenapa pertanyaan itu terus menerus diajukan Juariah padanya. Joko
bosan. Tapi tak juga Joko meminta penjelasan dari Juariah. Joko hanya
memandang. Memilih tak menjawab ketika Juariah terus mengajukan pertanyaan yang
sama hari demi hari.
Juariah
hanya melengos. Dilemparnya sapu rumah itu. Juariah masuk ke kamar. Menangis
ala kadarnya. Setiap hari kejadiannya selalu begitu. Dan Joko hanya diam. Diam
dan diam saja. Awalnya ketika mereka menikah dulu semua tampak baik-baik saja.
Keduanya menikmati hari-hari kebersamaan mereka. Hingga suatu hari Juariah
mulai minta ini dan itu. Joko mulai pusing. Dia hanya seorang supir. Supir
kantor sebuah yayasan nirlaba. Berapalah gajinya sebulan. Tak cukup untuk
memenuhi permintaan aneh-aneh Juariah.
Awal
ceritanya sama seperti cerita anak muda pada umumnya. Joko memang tak terlalu
tampan. Waktu itu Joko sedang tertarik dengan Juminten. Tapi karena sesuatu
hal, Juariah memilih untuk berkompetisi dengan Juminten. Kompetisi ala
perempuan muda. Kompetisi untuk mendapatkan Joko, seorang supir yayasan.
Juminten awalnya bingung kenapa Juariah ikut-ikutan mencintai Joko. Padahal
Juariah jauh lebih cantik dari dirinya. Juariah langganannya banyak sementara
Juminten langganannya terbatas. Juariah bisa melayani banyak bapak-bapak. Dari
mulai bapak rumah tangga hingga satpam-satpam di kompleks perumahan. Dari mulai
pekerja bangunan yang tua hingga yang muda. Dari ibu-ibu rumah tangga hingga
mbok-mbok pedagang keliling yang menjual sayur dan dagangan lain. Lalu Juminten?
Langganannya terbatas. Hanya ibu-ibu saja. Itupun yang sudah kenal. Juariah dan
Juminten adalah pedagang jamu keliling.
Suatu
kali Joko dan Juminten sedang duduk bersama. Juminten menyeduh secangkir air
hangat ke dalam cangkir berisi jamu tolak angin. Joko menyambut cangkir itu
dengan wajah gembira. Dipandangnya wajah Juminten yang pas-pasan. Tapi Joko
senang wajah itu. Hatinya tenang saat melihat Juminten. Apalagi Juminten selalu
menyediakan jamu gratis baginya. Berkali-kali Joko ingin membayar, berkali-kali
pula Juminten menolak.
“Jum,
kenapa sih aku ndak boleh bayar jamumu?” saat itu Joko bertanya. Juminten hanya
diam dan tersenyum. Senyum itu senyum paling indah dan tulus menurut Joko.
Walau senyum itu menampakkan gigi Juminten yang tak rata. Dengan kombinasi
bibir tebal pula.
Tiba-tiba
Juariah datang. Tak pakai ba-bi-bu. Tak pakai sapaan pendahuluan. Langsung nimbrung dan ikut bercengkerama.
Juminten yang rendah diri memilih untuk undur. Membiarkan Joko dan Juariah
saling bertutur. Mulai saat itu hari-hari bersama Joko mulai jarang. Jamu
gratis berganti, dari jamu gratis Juminten ke jamu gratis Juariah.
Bagi
Juariah, semuanya itu berawal dari mimpi. Tak ada rasa tertarik dari Juariah
kepada Joko sebelumnya. Ngapain menikah
sama supir? Begitu dulu ejekan Juariah pada Juminten. Tapi Juminten kekeuh. Tetap suka Joko. Tetap sayang
Joko. Tetap memberikan jamu gratis buat Joko. Jamu pegel linu. Jamu beras
kencur. Dan yang paling sering jamu masuk angin. Maklumlah, jam kerja Joko
kadang sampai malam. Joko sering masuk angin. Kalau sudah begitu, hanya jamu
dari Juminten obatnya. Joko paling anti dikerik atau dikerok dengan uang logam.
Geli, katanya, ketika Juminten pernah menawarkan untuk mengerok punggung Joko.
Mimpi
apa? Suatu malam Juariah bermimpi. Dalam mimpinya dia tampak hidup senang.
Tinggal di rumah besar. Perabotan mahal. Ada kolam renang pula. Juariah jadi
nyonya besar. Ada banyak pembantu yang bisa disuruh-suruh. Ada Inem satu hingga
Inem sembilan. Kesembilannya pembantu Juariah di rumah besar itu. Kemudian
samar-samar mimpinya mundur ke masa sebelumnya. Masa-masa pernikahan. Juariah
tampak bersanding dengan seorang lelaki. Lelaki itu adalah Joko. Tak salah
lagi. Jidat jenong dan rambut tipis itu jelas milik Joko. Mereka tampak
bahagia. Para tamu tampak menyalami. Sepasang pengantin tampak tersenyum
menikmati salam dari tetamu kanan dan kiri.
Juariah
terbangun. Apa arti mimpi itu? Apakah aku harus menikah dengan Joko? Berbagai
pikiran silih berganti datang dan pergi dalam benak Juariah. Kalau mau kaya
menikahlah dengan Joko. Kalau mau rumah besar, menikahlah dengan Joko. Kalau
mau punya kolam renang, menikahlah dengan Joko. Pikiran itu datang silih
berganti hingga akhirnya kesimpulannya hanya satu: Menikah dengan Joko! Sejak
saat itu Juariah mulai rajin menggoda. Setiap bertemu Joko dia mulai sering
bermain mata. Bukan hanya bermain mata. Segala cara dipakai Juariah termasuk
mulai memberikan jamu gratis dengan tambahan bumbu cinta. Joko mulai tergoda.
Apalagi setiap memberikan jamu Juariah mulai selalu tersenyum. Gigi putih
berbaris rapi dibungkus bibir tipis manis itu mulai terasa lebih enak dilihat
dari senyuman seorang Juminten. Joko mulai pindah ke lain hati. Juminten mulai
tak menarik. Ada Juariah tambatan hatinya yang baru.
Kedekatan
Juariah dengan Joko tak membuat Juminten sakit hati. Juminten cukup lapang dada
melihat Joko akhirnya lebih memilih Juariah. Juminten sadar dirinya tak
secantik Juariah. Semua yang dimiliki Juminten tampak tak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan Juariah. Karena itu Juminten tetap tersenyum. Bahkan saat
mendengar kabar bahwa Joko dan Juariah akan segera menikah.
Joko
dan Juariah akhirnya menikah. Pernikahan itu cukup ramai. Joko rupanya
menghabiskan seluruh isi tabungannya untuk acara pernikahan itu. Joko hanya
ingin Juariah senang. Maklumlah Juariah cantik sekali di mata Joko. Joko sering
bingung kenapa Juariah memilih dirinya padahal kalau Juariah mau, bisa saja
Juariah mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya. Yang lebih baik atau yang
lebih ganteng. Tapi Juariah memilih dirinya, Joko, seorang supir yang hampir
berusia empat puluh, berambut tipis dan berbadan kurus. Entah apa yang menarik
dari diriku? Itu pertanyaan Joko setiap kali melihat diri Juariah. Setiap kali
melihat wajah Juariah yang sedang tidur lelap.
Sehabis
menikah Joko dan Juariah pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil. Juariah tak
lagi membakul jamu. Dia memilih jadi ibu rumah tangga. Menunggu Joko pulang ke
rumah saja. Dari pagi hingga sore dan kadang malam juga. Dan semua baik-baik
saja. Juariah berpikir, mungkin belum saatnya jadi kaya. Mungkin perlu waktu,
pikirnya.
Tiga
bulan pun berlalu, kekayaan tak juga tampak. Sementara kebutuhan mulai terasa
banyak. Juariah mulai kesal. Pernah diajaknya Joko bicara, setelah sebelumnya
mereka bercinta. Juariah mulai bertanya apakah Joko punya warisan tanah atau
rumah. Apakah Joko punya harta lain yang dirinya tak tahu. Joko bingung. Joko
menjawab apa adanya. Juariah berang. Kesal bercampur marah. Lekas-lekas
berpakaian. Itu adalah kali terakhir mereka bercinta.
Sampai
suatu hari Juariah mendapat ide. Mungkin saja nanti mereka akan kaya lewat
jalan lain. Mungkin suatu saat suaminya akan kejatuhan rejeki. Dari lotre
misalnya? Atau undian apalah. Yang penting bisa membuat mereka kaya. Juariah
menyampaikan ide itu ke Joko. Joko menolak. Joko antri lotre. Sejak itu Juariah
mulai sering bertanya ke Joko, “Nggak beli lotre Pa?”. Kali pertama Juariah
bertanya, Joko masih menjawab, “Buat apa lotre ma?”
“Biar
cepat kaya Pa”, jawab Juariah singkat. Mukanya cemberut. Joko berusaha
membujuk. Dibelainya saja rambut Juariah yang hitam panjang. Sudah sebulan
lebih mereka tak bercinta. Joko juga lelaki normal biasa. Butuh bercinta juga.
Juariah menepis tangan Joko. Masuk ke kamar. Menangis. Joko menghela napas
panjang. Gagal sudah niat bercinta hari itu.
Hari
ke hari pertanyaan Juariah itu-itu saja. Tentang lotre dan lotre. Joko mulai
tak menjawab. Juariah menangis. Sampai suatu ketika Juariah memutuskan untuk
membeli lotre sendiri. Diberitahunya ke Joko kalau dia sudah beli lotre.
Pengumuman pun tiba. Nomor lotre yang dibelinya tak keluar alias tak menang.
Juariah kesal. Berarti memang harus Joko yang membeli. Harus!
“Nggak
beli lotre Pa?” lagi-lagi pertanyaan itu. Begitu terus pertanyaan Juariah pada
Joko. Sampai suatu hari ada kabar buruk untuk Juariah. Joko mengalami
kecelakaan. Waktu membawa mobil dari Jogja ke Semarang rupanya kondisi mobil sedang
tidak baik. Joko kehilangan kendali. Mobil kencang berlari masuk jurang, yang
dipinggirnya dibatasi kawat duri. Joko tewas di depan kemudi. Juariah jatuh terduduk
mendengar kabar itu. Tak sanggup dia menangis.
Tamu-tamu
mulai berdatangan. Rumah itu mulai ramai. Doa untuk Joko pun dipanjatkan. Namun
itu hanya keramaian sesaat. Juariah pun kembali sendiri. Tinggal satu orang tamu
yang belum pergi. Namanya Pak Kresna. Dia bos di yayasan tempat Joko bekerja.
Ada sesuatu yang ingin disampaikannya langsung ke Juariah. Dengan sabar
ditunggunya hingga agak sepi. Supaya bisa langsung bicara dengan Juariah dan
supaya hanya sedikit yang mendengar.
Rupanya
Joko sudah lama bekerja di yayasan tempat Pak Kresna memimpin. Sudah dua puluh
tahun sejak Joko tamat SMA. Joko selalu mengikuti saran-saran Pak Kresna
termasuk saran menabung untuk hari tua. Joko rupanya ikut sebuah program
investasi. Program investasi dengan proteksi. Proteksinya berupa asuransi jiwa.
Pak Kresna menyampaikannya ke Juariah, Juariah terkejut tak menyangka. Dia
pikir Joko seperti manusia lainnya. Apa yang ada hari ini ya untuk hari ini.
Besok ya tinggal besok. Ternyata Joko tidak begitu. Joko peduli akan masa
depan. Nilai investasi dan asuransi jiwa Joko ternyata banyak sekali.
Samar-samar Juariah ingat mimpinya. Saat jadi kaya hanya tampak dirinya dan
para pembantunya. Tak ada Joko di situ. Rupanya inilah arti mimpinya. Joko
pergi meninggalkan warisan baginya.
Uang
empat miliar itu tidak sedikit. Juariah menangis sejadi-jadinya. Pak Kresna
menunggu sampai tangisan Juariah reda. Namun sepertinya tangis Juariah tak akan
berhenti saat itu. Ada satu berita lagi yang harus Pak Kresna sampaikan pada
Juariah, namun Juariah sudah berlalu. Masuk ke kamar dan menangis keras
sesungukan. Akhirnya Pak Kresna memilih menunda berita itu. Berita tentang
seseorang yang ikut tewas bersama Joko. Seorang perempuan biasa-biasa saja
dengan senyum tulus yang terbentuk dari bibir tebal dan gigi yang tak rata…
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar