Tanggal 22 Mei 2013 yang lalu bertempat di
restoran Mahameru, beberapa staf Wahana Visi Indonesia Urban Surabaya
berkesempatan mengikuti workshop tentang BCC (Behavior Change Communication)
yang difasilitasi oleh Bapak dokter Oedojo Soedirham. Mungkin karena beliau
juga adalah seorang akademisi (beliau adalah staf pengajar di Departement of
Health Promotion and Behavioral Sciences, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat
UNAIR), selain sebagai Ketua Forum Kota Sehat Surabaya, lebih tepat kalau saya
sebut kuliah sehari ketimbang menyebutnya sebagai workshop.
Dokter Oedojo dalam kuliah sehari tentang BCC di Mahameru Restaurant Surabaya |
Acara kuliah sehari itu dibuka dengan beberapa
penjelasan dan doa oleh Pak Nanang (staf Wahana Visi Indonesia) dan kemudian
dilanjutkan dengan perkenalan singkat tentang Wahana Visi Indonesia yang
disampaikan oleh Bapak Abraham Sitompul selaku Urban Manager WVI Urban Surabaya.
Kemudian untuk mencairkan suasana, masing-masing peserta atau staf yang hadir
saat itu memperkenalkan diri juga kepada nara sumber.
Sebelum memulai dengan materi kuliah, Pak
Oedojo memberikan sedikit pengantar tentang definisi “sehat”. Ternyata kalau
bicara soal “sehat” maka kita tidak lagi hanya berbicara masalah kesehatan saja
melainkan banyak faktor. Sehat
tidak selalu bicara soal physical wellbeing, tapi juga mencakup mental dan psychological wellbeing. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang dimiliki oleh
Indonesia sudah berbicara soal spiritual well-being. Namun lagi-lagi pada pelaksanaannya menemui
banyak kendala. Kendala yang dihadapi dalam menafsirkan “sehat” dalam banyak sektor
biasanya berhubungan
dengan masalah
anggaran.
Materi kuliah dimulai dengan pengantar tentang
apa-apa saja yang mempengaruhi behavior atau perilaku manusia. Yang jelas
budaya (culture), perilaku (behavior), dan komunikasi (communication) saling
berkaitan satu sama lain. Budaya akan membantu mempertajam perilaku (culture
helps shape behavior). Berbicara budaya sendiri juga dipengaruhi oleh isi
(context) budaya itu. Ada negara-negara dengan high context culture dan ada
negara-negara dengan low context culture. Seperti apa penjabarannya agak kurang
jelas saya mengerti, namun kalau kita perhatikan bahwa China, Korea, dan Jepang
itu berada pada high context culture sedangkan di low context culture itu ada
negara Jerman, Swiss, Amerika bagian Utara maka saya rasa kita bisa
mengira-ngiralah apa yang dimaksud low context dan high context tadi. Sayang, Indonesia tidak disebutkan masuk kemana. Nah, selain
budaya ada banyak faktor lain yaitu sikap (attitude), nilai-nilai (values), emosi,
etika, otoritas, koersi, dan genetika. Rupanya, tidak hanya itu saja. Jika ada
perbedaan lingkungan maka akan ada perbedaan masalah. Perbedaan masalah akan
mempengaruhi faktor-faktor yang dipaparkan tadi.
Berbicara soal Behavioral Communication berarti berbicara tentang perilaku dari
hari ke hari atau waktu ke waktu sebagai bentuk dari komunikasi. Sedangkan inti
dari komunikasi itu sendiri adalah bagaimana suatu pesan bisa tersampaikan. Hal-hal
sederhana yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari antara lain: gaya
rambut yang ekspresif, cara seseorang memperlihatkan emosi, atau bahkan jika
seseorang itu memutuskan untuk mencuci piring atau tidak mencuci piring adalah suatu
bentuk komunikasi perilaku. Komunikasi perilaku tentu akan berbeda dan bisa
tidak dimengerti oleh orang lain. Tantangan utamanya adalah Cultural Barrier yang
terdiri dari: Semantik (bahasa), konotasi kata, perbedaan tone/ nada, dan perbedaan persepsi. Nanti bisa dilihat dalam gambar
terlampir bahwa beda tanda atau “sign” yang ditampilkan atau diperagakan
seseorang bisa beda penafsirannya oleh orang lain di berbagai belahan dunia.
Di banyak negara beda tanda bisa beda penafsiran (Sumber: Materi BCC Oedojo Soedirham) |
Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan
komunikasi itu sendiri? Hovland (1948) merumuskan komunikasi sebagai
“proses di mana seorang komunikator mentransmisikan stimuli untuk memodifikasi
perilaku orang lain”. Wilbur Schramm (1954) merumuskan komunikasi
adalah “menyebabkan penerima dan pengirim saling bersesuaian terhadap pesan
tertentu”. Sedangkan Astrid Susanto (1977) mengemukakan bahwa komunikasi adalah
“proses pengoperan lambang-lambang yang mengandung arti”. Lalu Robins (1982)
merumuskan komunikasi sebagai “perbuatan penyampaian suatu gagasan atau
informasi dari seseorang kepada orang lain”. Artinya, kalau mau disimpulkan, dalam
komunikasi terjadi proses penyampaian pesan, gagasan, informasi dari seseorang
terhadap orang lain. Penyampaian pesan, gagasan dan informasi ini disampaikan
dengan menggunakan lambang-lambang tertentu . Nah, penyampaian pesan,
gagasan dan informasi dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan lambang ini
merupakan suatu proses dimana pesan, gagasan dan informasi yang disampaikan
diharapkan dapat menimbulkan pengaruh dalam bentuk perubahan tingkah laku si
penerima.
Lain lagi kalau berbicara tentang perilaku
(behavior). Berbicara tentang perilaku tentunya akan terbagi dalam 2 (dua)
bagian besar yaitu perilaku beresiko dan perilaku tidak beresiko. Maka kalau
kita mengharapkan adanya perubahan perilaku, ada dua bagian besar yang akan dikerjakan
yaitu bagaimana merubah apa yang “risky” behavior menjadi “safe” behavior dan
yang kedua bagaimana mempertahankan perilaku yang sudah “safe” (maintain safe
behavior). Dari sini kita akan tahu bahwa target utama untuk perubahan perilaku
adalah orang-orang dengan “risky” behavior.
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam “merubah
perilaku”. Tahapan tersebut adalah: Knowledge, Approval, Intention, Practice, dan
Advocacy (memotivasi orang lain untuk berubah setelah dirinya sendiri berubah).
Lalu apa BCC itu sendiri?
Behavior change
communication (BCC) is a process of any intervention with individuals, communities
and/or societies to develop communication strategies to promote positive
behaviors which are appropriate to their settings. This in turn provides a
supportive environment which will enable people to initiate and sustain
positive and desirable behavior outcomes. BCC should not be confused with
behavior modification, a term with specific meaning in a clinical psychiatry
setting. Lho kok jadi bahasa Inggris? Yah, menurut Pak Oedojo sulit untuk
menafsirkannya dalam bahasa Indonesia dan karena saya setuju dengan beliau, jadi
saya copy paste kan saja ya.. :-)
Yang jelas dalam
penerapannya BCC itu adala proses yang kontinu. Kalau kita mengerti siapa
sasaran BCC, misalnya sasarannya adalah orang dewasa yang ingin dirubah
perilakunya maka metode yang akan kita gunakan adalah metode Andragogi yaitu
metode pengajaran pada orang dewasa dan bukan metode Pedagogi (metode
pengajaran pada anak). Metode-metode ini nanti akan kita bahas kemudian jika
saya ada waktu men-searching atau mengumpulkan informasinya. Metode lain yang
harus dipikirkan adalah bagaimana bentuk BCC itu sendiri apakah BCC akan
disampaikan secara interpersonal atau melalui mass-media?
Oh iya, BCC
sendiri sering disalah artikan dengan banyak nama misalnya: IEC, health
education, health promotion, AIDS education, atau social marketing. Memang ada
kesamaan dalam penamaan tersebut yaitu unsur komunikasi yang ada di dalamnya
namun menurut Pak Oedojo mereka berbeda dalam sisi scoupe nya.
Jika ingin
men-develop BCC maka pertimbangkanlah beberapa hal berikut ini: Kualitas dan
kreatifitas yang professional, pandangan/ masukan dari health professional, memasukkan
nilai-nilai (values), dan adanya partisipasi masyarakat yang diharapkan
(community participation). Kalau BCC yang didevelop akan menggunakan metode
interpersonal maka pastikan untuk melibatkan orang-orang yang cukup dikenal di
level orang-orang yang ingin dirubah perilakunya. Untuk ini pendekatan dengan
metode peer education sangat disarankan.
Selanjutnya Pak
Oedojo melanjutkan dengan beberapa teori tentang perubahan perilaku. Ternyata teorinya
cukup banyak juga. Ada teori tentang Health Belief Model (HBM). Teori tentang
kehendak Tuhan (Perception of Divine Will). Dan ada juga teori tentang Reasoned
Action (TRA) vs Theory of Planned Behavior (TPB). Sebelum teori tersebut
dijelaskan, lebih dahulu dipaparkan juga tentang Barrier Analysis. Lewat
Barrier Analysis kita dapat membuat target dari awal tentang perubahan perilaku
apa yang kita harapkan dan bagaimana prosesnya dalam melewati hambatan atau
barrier yang ada. Nih, simak dalam versi Inggrisnya: Barrier Analysis is a
rapid assessment tool used in community health and other community development
projects to identify behavioral determinants associated with a particular
behavior so that more effective behavior change communication messages and
support activities (e.g., changing social norms) can be developed.
Langkah-langkah melakukan Barrier Analysis (Sumber: Materi BCC Oedojo Soedirham) |
Health Belief
Model sendiri adalah teori yang cukup dikenal di Amerika untuk health-education.
Lewat HBM pelaku BCC akan dibantu agar sasaran dapat: Merasakan kerentanan
(perceived susceptibility), merasakan kekerasan (perceived severity), merasakan
manfaat jika merubah perilaku (perceived benefits), mengisyaratkan perubahan
(ada aksi atau tanda-tanda ingin berubah/ cues for action), dan akhirnya mulai
merasakan efektifitas diri (perceived self-efficacy).
Sedangkan Theory
of Reasoned Action dapat digunakan untuk memprediksi apakah memang perubahan
perilaku yang diharapkan itu akan berhasil atau tidak. Setiap intervensi yang
dilakukan, menurut TRA harus memperhatikan perubahan sikap yang dihasilkan dan
pandangan subyektif yang dirasakan atas norma yang ingin dibuat. Dengan
memperhatikan kedua hal ini maka perilaku positif akan terjadi jika kedua unsur
yang dipertimbangkan tadi berhasil positif juga.
TRA dan TPB dalam perubahan perilaku (Sumber: Materi BCC Oedojo Soedirham) |
TPB sendiri hampir
mirip dengan TRA hanya mempertimbangkan penggunaan kontrol dan power
(kekuatan). Dengan tambahan 2 (dua) hal ini maka perubahan perilaku akan lebih
mudah diharapkan untuk berhasil.
Akhirnya,
penyampaian materi selesai juga. Sesi tanya jawab pun dimulai. Ada banyak
pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman staf. Yang jelas, kembali lagi
kepada proses. Tidak ada proses yang singkat untuk perubahan perilaku. Metode
yang akan digunakan harus tepat sasaran dengan mempertimbangkan penggunaan
Barrier Analysis. Dan yang terpenting menunjukkan bahwa si pelaku yang ingin
merubah perilaku orang lain harus juga berubah.
Acara kuliah
sehari itupun selesai dan ditutup dengan makan siang bersama. Wah, boleh juga
sering-sering acara seperti ini ya.. menambah ilmu sekaligus menghemat
pengeluaran ... :-)
Sampai bertemu dalam share materi-materi lainnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar