Suatu kali saya terlibat diskusi
panjang lebar dengan seorang teman dalam satu pertemuan rutin bulanan. Diskusi
ini adalah diskusi masalah program atau pekerjaan. Dalam diskusi tersebut
banyak pendapat teman tersebut yang saya sanggah dengan menggunakan fakta-fakta
dan data-data yang ada. Saya juga mencoba memberikan beberapa solusi yang masih
berhubungan dengan data dan fakta yang cukup aktual. Teman saya tersebut
sepertinya tidak bisa menerima sanggahan yang saya berikan. Demikian pula
dengan solusi yang saya ajukan. Pada prinsipnya dia ingin idenya diterima dan
ide itulah yang diterapkan.
Diskusi pun berakhir. Karena itu
adalah proyeknya teman saya tersebut maka saya tidak lagi ikut mencampuri
hal-hal teknis yang berkaitan dengan hasil diskusi tadi. Intinya, dia ingin idenya
yang dijalankan dan itu akhirnya diterima sebagai hasil diskusi bersama.
Keesokan harinya saya bertemu
lagi dengan teman saya tersebut. Kebetulan kami sudah berteman cukup lama.
Kira-kira sudah lebih dari lima
tahun. Ketika bertemu, si teman itu langsung membuang muka dan saya pun tidak
ditegur. Dalam kesempatan lain saya bertemu dengannya -kebetulan saat itu juga
ada teman yang lain- teman saya tadi tidak mau langsung berbicara dengan saya.
Dia hanya mengajak teman saya yang satunya saja berbicara. Beberapa pertanyaan atau
lontaran pernyataan yang saya ajukan tidak dijawab, bahkan diabaikan sama
sekali.
Apa yang sebenarnya terjadi? Usut
punya usut rupanya itu adalah buntut dari alotnya diskusi yang pernah terjadi
dulu. Menurut teman saya tadi (ini berdasarkan informasi dari teman yang lain),
dia sedang jengkel dengan saya karena tidak mau serta merta menerima
pendapatnya waktu diskusi lalu. Nah lu…
Masalah seperti ini sering kita
temui dalam lingkup pekerjaan kita entah dimanapun itu. Lebih-lebih untuk saya
yang bekerja di bidang sosial, sering masalah pribadi sepertinya dicampur aduk
dengan masalah pekerjaan. Contoh: Jika ada rekan kerja yang tidak suka secara
personal dengan saya, maka semua yang saya katakan pasti selalu salah. Baik itu
dalam diskusi atau dalam kesempatan apapun. Jika saya menyampaikan suatu
pernyataan pasti langsung disanggah dengan semangat. Jangan-jangan saya masih
bilang, “aa…” sudah langsung disanggah. Contoh lainnya adalah kebalikannya
seperti kisah teman saya tadi. Ketika diskusi sangat alot dalam lingkup
pekerjaan akhirnya malah terbawa-bawa dalam lingkup pertemanan. Yang tadinya
teman bisa tidak teman lagi. Yang tadinya konco dan sering ngumpul bareng bisa
ngga konco lagi dan akhirnya ngga ngumpul bareng lagi.
Lalu bagaimana mengatasinya? Mau
tidak mau harus diomongin. Tidak bisa didiamkan saja dan berharap suatu saat
akan adem-ayem alias damai kembali. Akhirnya saya mengambil waktu untuk bicara
dengan teman saya tadi. Saya jelaskan bahwa kita harus bisa membedakan urusan
pekerjaan dan urusan pertemanan. Kita boleh gontok-gontokan atau kalau perlu
sampai pukul meja (kasihan juga tuh meja..) kalau bicara soal program atau
pekerjaan. Tapi di luar, sebagai teman ya kita tetap sebagai teman. Masih bisa
jalan sama-sama. Masih bisa tertawa-tawa sama-sama. Nonton bareng, ngumpul
bareng dan lain-lain. Memang sih sulit.. tapi di sinilah perlunya EQ itu. Teman
saya manggut-manggut. Kami pun bersalaman dan tersenyum-senyum sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar