Senin, 10 September 2012

Urusan Pekerjaan vs Urusan Pertemanan



Suatu kali saya terlibat diskusi panjang lebar dengan seorang teman dalam satu pertemuan rutin bulanan. Diskusi ini adalah diskusi masalah program atau pekerjaan. Dalam diskusi tersebut banyak pendapat teman tersebut yang saya sanggah dengan menggunakan fakta-fakta dan data-data yang ada. Saya juga mencoba memberikan beberapa solusi yang masih berhubungan dengan data dan fakta yang cukup aktual. Teman saya tersebut sepertinya tidak bisa menerima sanggahan yang saya berikan. Demikian pula dengan solusi yang saya ajukan. Pada prinsipnya dia ingin idenya diterima dan ide itulah yang diterapkan.

Diskusi pun berakhir. Karena itu adalah proyeknya teman saya tersebut maka saya tidak lagi ikut mencampuri hal-hal teknis yang berkaitan dengan hasil diskusi tadi. Intinya, dia ingin idenya yang dijalankan dan itu akhirnya diterima sebagai hasil diskusi bersama.

Keesokan harinya saya bertemu lagi dengan teman saya tersebut. Kebetulan kami sudah berteman cukup lama. Kira-kira sudah lebih dari lima tahun. Ketika bertemu, si teman itu langsung membuang muka dan saya pun tidak ditegur. Dalam kesempatan lain saya bertemu dengannya -kebetulan saat itu juga ada teman yang lain- teman saya tadi tidak mau langsung berbicara dengan saya. Dia hanya mengajak teman saya yang satunya saja berbicara. Beberapa pertanyaan atau lontaran pernyataan yang saya ajukan tidak dijawab, bahkan diabaikan sama sekali.

Apa yang sebenarnya terjadi? Usut punya usut rupanya itu adalah buntut dari alotnya diskusi yang pernah terjadi dulu. Menurut teman saya tadi (ini berdasarkan informasi dari teman yang lain), dia sedang jengkel dengan saya karena tidak mau serta merta menerima pendapatnya waktu diskusi lalu. Nah lu…

Masalah seperti ini sering kita temui dalam lingkup pekerjaan kita entah dimanapun itu. Lebih-lebih untuk saya yang bekerja di bidang sosial, sering masalah pribadi sepertinya dicampur aduk dengan masalah pekerjaan. Contoh: Jika ada rekan kerja yang tidak suka secara personal dengan saya, maka semua yang saya katakan pasti selalu salah. Baik itu dalam diskusi atau dalam kesempatan apapun. Jika saya menyampaikan suatu pernyataan pasti langsung disanggah dengan semangat. Jangan-jangan saya masih bilang, “aa…” sudah langsung disanggah. Contoh lainnya adalah kebalikannya seperti kisah teman saya tadi. Ketika diskusi sangat alot dalam lingkup pekerjaan akhirnya malah terbawa-bawa dalam lingkup pertemanan. Yang tadinya teman bisa tidak teman lagi. Yang tadinya konco dan sering ngumpul bareng bisa ngga konco lagi dan akhirnya ngga ngumpul bareng lagi.

Lalu bagaimana mengatasinya? Mau tidak mau harus diomongin. Tidak bisa didiamkan saja dan berharap suatu saat akan adem-ayem alias damai kembali. Akhirnya saya mengambil waktu untuk bicara dengan teman saya tadi. Saya jelaskan bahwa kita harus bisa membedakan urusan pekerjaan dan urusan pertemanan. Kita boleh gontok-gontokan atau kalau perlu sampai pukul meja (kasihan juga tuh meja..) kalau bicara soal program atau pekerjaan. Tapi di luar, sebagai teman ya kita tetap sebagai teman. Masih bisa jalan sama-sama. Masih bisa tertawa-tawa sama-sama. Nonton bareng, ngumpul bareng dan lain-lain. Memang sih sulit.. tapi di sinilah perlunya EQ itu. Teman saya manggut-manggut. Kami pun bersalaman dan tersenyum-senyum sendiri.

Tidak ada komentar: