Senin, 20 Oktober 2008

Bukan Tuhan yang Salah….


“Jadi gimana Nda, kamu mau ngga jadi pacarku?” Aku mendesak Enda untuk menjawab. Sekilas kulirik arloji di pergelangan tanganku. “Wuih sudah jam setengah dua belas malam, gawat nih…” pikirku.
Jayapura memang kota yang relatif aman, tapi di beberapa tempat masih saja banyak geng-geng berkelompok yang sedang mabar. Apa tuh? Mabuk bareng.

“Aku sudah punya pacar…” jawab Enda lirih setelah terpekur beberapa lama. Dia lalu menatapku. Kali ini aku benar-benar ngga tau lagi harus mengartikan apa lagi arti tatapannya.
“Yang aku mau kamu jawab iya apa ngga Nda, bagiku itu bukan jawaban” tukasku berusaha menegaskan. Sekilas kupikir aku ini keterlaluan juga, udah tau dia udah punya pacar eh..masih dideketin juga. He…3x namanya juga usaha.

Dua hari yang lalu

Hari itu hari Jumat malam, aku masih belum bisa tidur. Jam dinding di kontrakanku menunjukkan pukul setengah satu malam. Di meja kulihat tiket Avia Star maskapai penerbangan yang akan membawaku besok ke Jayapura. Perasaanku ngga tenang, bercampur aduk antara deg-degan campur was-was. Lho? Jadi apa tuh? Memang di Jayapura akan ada pertemuan mulai hari Senin. Namun aku sengaja berangkat hari Sabtu. Biar bisa malam mingguan! Pikirku. Sejenak terbayang wajah Enda, gadis yang kutaksir sejak dua bulan lalu. Duh cantiknya! Aku jadi deg-degan. Aku teringat waktu pertama menyatakan perasaanku ke dia. Jawabannya simple “Aku udah punya pacar…” katanya waktu itu. Sejak itu aku langsung mengubur perasaanku dalam-dalam dan berusaha bersikap biasa padanya. Aku masih ingat waktu workshop sebulan yang lalu di Jayapura beberapa teman dari Jakarta yang tahu statusku masih single berusaha menjodoh-jodohkanku. Ada yang mau menjodohkanku dengan temannya dan ada juga yang mau menjodohkanku dengan adiknya. Wah, ternyata aku masih laku juga yah..he..3x. Waktu itu aku ingat Enda ada juga dalam workshop itu, namun aku sudah bersikap biasa saja padanya waktu itu.
Sudah jam satu pagi! Aku masih saja belum bisa tidur. Masih terbayang berbagai peristiwa bersama Enda. Aku teringat waktu Enda memintaku untuk meng-edit film tentang kegiatan yang tempat kerjaku lakukan. Oh iya, aku bekerja di salah satu lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat. Lokasinya di sebuah kota kecil bernama Wamena. Wamena itu dimana? Di pulau Papua, tepatnya di tengah-tengah pulau itu. Udaranya sejuk karena dikelilingi banyak bukit dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Eh, malah cerita soal Wamena. Kembali ke ceritaku tadi, waktu itu kami melewatkan malam berdua di sebuah kamar hotel di Jayapura. Karena base-ku di Wamena jadi setiap ke Jayapura harus menginap di hotel. Tapi jangan berpikiran negatif lho.. Karena kita berdua adalah anak-anak Tuhan yang menjaga kekudusan masing-masing…he…3x
Aku teringat juga pada suatu pagi sehabis devosi aku ditelpon oleh bos-ku dari Jayapura. Oh iya, setiap pagi sebelum mulai bekerja kami melakukan devosi, yaitu ibadah singkat seluruh staf satu kantor. Waktu itu bos-ku bilang kalau dia sangat kecewa sekali padaku karena ada yang bilang pada beliau kalau aku sudah pindah ke lain hati. Waduh, pikirku. Apa maksudnya nih? Ternyata yang bos maksud adalah Enda. Lho? Waktu itu aku jadi bingung, khan dia sudah punya pacar? Jangan-jangan dia sudah putus. Berbagai pikiran muncul dalam benakku waktu itu. Bos-ku ini memang termasuk salah satu orang yang gigih menyuruhku untuk jadian dengan Enda. Yah…mungkin dia merasa terbeban kali ya? Selain bos-ku masih ada beberapa teman lain yang juga menyarankan hal yang serupa.
“Oke deh Pak.” Jawabku, “saya akan coba lagi..” sambil kupikir-pikir “bagaimana caranya ya?”
Akhirnya pada satu kesempatan ada seminar untuk para hamba Tuhan yang akan dihadiri oleh hamba Tuhan dari Jayapura, Wamena, dan Merauke. Bos-ku meminta aku bersama rekan managerku mengajak dua hamba Tuhan dari Wamena untuk ikut pertemuan itu.
Di bandara kusempatkan untuk membeli bunga Kurulu. Bunga khas dari Wamena. Bunga itu rencananya akan kuberikan pada Enda.
“Makasih ya…” kata Enda waktu menerima bunga dariku saat itu. Setelah itu sepanjang workshop dua hari itu kuhabiskan hanya untuk berusaha mendekatinya. Yah, nggak semua waktu habis untuk itu lah... Materi workshop masih masuk juga koq di benakku…. he..3x
Masih banyak lagi yang terlintas di benakku. Hari-hari yang kulewatkan bersamanya di Wamena, dan lain-lain. Tanpa sadar akhirnya aku tertidur.

Hari Sabtu

Pagi itu HPku berdering, aku mengangkatnya “Pak, Avia Star ngga ada penerbangan hari ini..” ternyata Ika salah satu stafku yang menelpon.
“Waduh, kalo gitu kamu ganti tiketnya kah?” jawabku. Yang terpikir saat itu hanya ngga jadi malam mingguan bareng Enda. Bisa gawat nih rencana! Pikirku.
“Oke Pak, saya coba urus di bandara” jawab Ika.
“Oke, saya juga langsung meluncur ke bandara deh..nanti ketemu di sana ya…” jawabku. Telepon kututup. Langsung kuhubungi Reynold yang berjanji akan mengantarku ke bandara hari itu dengan mobil kantor.
“Bos, nanti Isman yang antar, sekalian dia mau pinjam mobil katanya, ada urusan” jawab Reynold.
“Oke sudah. Saya tunggu ya…” HPku kututup mengakhiri pembicaraan dengan Reynold.

Di bandara ternyata Ika berhasil menukar tiketku dan tiket Willy teman seperjalananku dengan tiket maskapai Trigana. Syukurlah, pikirku. Jadi malam mingguan nih! Ujarku tanpa sadar. Willy hanya tersenyum melihat tingkahku.

Sampai di hotel langsung aku menghubungi Enda, dan ternyata aku harus kecewa karena Enda rupanya ada acara lain sampai malam lagi. Yah, salahku juga ngga bikin janji sebelumnya dengan dia. Aku langsung terbaring di tempat tidur. Sekilas kulihat barang-barang titipan Enda, satu botol sari buah merah dan satu kantong plastik bunga Kurulu. Yah sudahlah, pikirku. Aku tunggu saja kabar selanjutnya dari dia.

Sampai malam tidak ada kabar dari Enda, tidak ada sms, ataupun telepon. Alamat ngga baik nih! Pikirku. Ku sms dia, “Bunga Kuruluku layu…”. Ku tunggu beberapa saat ternyata tetap ngga ada jawaban.

Minggu

Paginya aku dibangunkan oleh suara sms dari HPku. Eh, ternyata sms dari Enda. He..3x Dalam hati aku bersorak kegirangan. Isinya dia minta maaf karena malam kemarin acaranya sampai malam sehingga nggak sempat ketemu aku. Kubiarkan beberapa lama baru kubalas smsnya. Intinya aku bilang ngga apa-apa. Hanya di smsku aku nggak bilang kapan dia harus ambil titipannya. Sampai agak sore baru ada balasan dari dia menanyakan kapan dia bisa mengambil titipannya. Langsung aku telepon dia.
“Hai, nanti aku antar aja titipannya ke tempatmu” usulku di telepon. Enda agak kaget karena langsung kutelepon sehabis menerima smsnya. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu malam itu. Yah, memang ngga jadi malam mingguan tapi malam senenan he…3x. Enda memintaku untuk membawa lauk dan sayur sementara dia akan memasak nasi untuk kami makan sama-sama. Duh, senangnya!

_______________

“Jadi gimana? Jawabkah…” kembali aku bertanya pada Enda. Enda menarik nafas panjang.
“Ya sudah jawabannya: ...…” jawabnya. Bibirnya terkulum. Dia melihat ke arah lain. Mungkin dia tak berani menatapku.
"Enggak?" kejarku agak ngga semangat. Enda mengangguk lemah. Masih terdiam. Akupun terdiam. Ikut-ikutan menarik nafas panjang. Tidak menyangka kalau jawabannya ternyata begitu. Walau sebelumnya aku juga ngga terlalu berharap banyak. Aku tahu dia sudah pacar, tapi perasaanku memang nggak boleh lama-lama disimpan. Tadinya aku berpikir, pokoknya malam ini harus tuntas, kalau ditolak paling patah hati, kalau diterima syukur Halleluya..!
“Kalau gitu aku tanya sekali lagi ya…” aku masih belum yakin. “Kamu mau nggak jadi istriku?” Weleh, kok malah pertanyaannya berubah. Duh, aku sempat kaget mendengar ucapanku sendiri. Tapi ya sudah, sudah terlanjur.
“Nggak” jawab Enda. Lagi-lagi tiap kali menjawab seakan butuh waktu lama untuk berpikir.
“Kenapa?” aku masih belum puas.
“Karena Passion kita beda…”katanya.
“Apanya yang beda?” aku masih mengejar terus, agak sedikit jengkel.
“Yah pokoknya beda lah..” matanya menatapku berharap aku tidak bertanya lagi.
“Ya sudahlah kalau gitu” aku berusaha menerima. “By the way kamu tahu nggak kalau aku pernah puasa untuk kamu?” aku melanjutkan. Enda tampak kaget.
“Aku pernah puasa hanya untuk minta tanda, waktu itu aku bilang ke Tuhan kalau kamu mau diajak ke gereja bareng berdua berarti kamu memang jodohku…”
“Dan ternyata kamu mau…” aku membuang nafas. Lega rasanya udah mengungkapkan hal itu. Enda hanya terdiam. Aku kemudian melanjutkan memberinya kuliah tentang masa-masa sewaktu dia ada di Wamena. Masa-masa di mana kita selalu keluar berdua, ngajarin dia naik motor malam-malam. Belajar motor kok malam-malam? He…3x aku jadi tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu. Makan malam bersama berdua. Makan malam di rumah kontrakanku. Dan lain-lain. Enda hanya diam.
“Aku minta maaf kalau selama ini memberikan sinyal-sinyal yang salah…” akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutnya.
“Yakin salah?” belum selesai dia bicara aku sudah memotong kata-katanya. “kamu tahu nggak kalau aku pernah meluangkan waktu hanya untuk mencari kejelekanmu?” lanjutku.
“Tapi makin dicari ternyata aku makin sayang sama kamu…” lanjutku lagi. Tampak senyum kecil di wajah Enda. Senyumnya makin besar saat aku membeberkan beberapa kejelekannya yang kutemukan. Suasana mulai cair, aku juga makin leluasa bercerita berbagai hal yang kupendam selama ini.
“Oke sudah, sudah malam nih..” akhirnya aku harus menyelesaikan percakapan dengannya. “So, kita berteman saja ya mulai sekarang?” ujarku sambil mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Dia menyambut tanganku. Kami bersalaman.
Aku kemudian berjalan ke luar. Dia menemaniku sampai di pintu kos-kosannya. Enda menempati kos-kosan dua lantai. Dia menempati salah satu petak di lantai dua diapit oleh dua petak lain masing-masing di kiri-kanannya.
Sepanjang jalan kembali ke hotel, pikiranku malah berkecamuk. Kesal memang, tapi ada sedikit lega. Akhirnya tuntas juga. Habis, gossip soal hubunganku dengan Enda sepertinya sudah menyebar kemana-mana. Tapi tetap saja ada perasaan kecewa. Yah, patah hati lagi deh… Bayangkan, dua kali patah hati untuk gadis yang sama. Oh my God!

Sampai di hotel, aku membuka pintu kamarku. Rupanya Willy teman sekamarku sudah tertidur. Dia agak membuka mata sedikit saat aku membuka pintu kamar. Aku langsung ke kamar mandi. Mencuci muka, melihat wajahku di cermin. Kuseka wajahku dengan sehelai handuk. Kemudian aku terduduk di tempat tidur. Merenung memikirkan setiap kata-kata Enda tadi. Passion? Passion nenek moyang, pikirku kesal. Yang terbayang saat itu malah Passion of Christ. Aku membayangkan jangan-jangan Tuhan lagi tersenyum saat ini. Atau Dia juga ikut sedih? Kalau Dia ikut sedih, kenapa Dia kasih tanda padaku? Aku nggak terima, pikirku. Kali ini Tuhan salah! Buktinya, aku nggak jadian dengan Enda. Lanjut pikiranku. Sekilas aku melihat ke Alkitabku yang terletak di meja lampu. Mau cari ayat? Ogah ah, pikirku. Pokoknya kali ini Tuhan salah. Aku tertidur.

Keesokan harinya workshop dimulai. Aku memasuki ruang workshop, kulihat sepintas Enda juga ada di ruangan itu, bangku sebelahnya kosong. Teman-teman masih saja menggodaku agar duduk di bangku kosong di sebelahnya itu. Aku melayangkan mataku ke tempat lain. Ternyata ada bangku kosong lain. Syukurlah! Pikirku. Hari itu seharian aku masih saja jengkel. Kelihatannya Enda juga merasa tidak nyaman. Aku nggak tahu kapan dia keluar dari ruangan. Yang jelas sampai akhir workshop hari itu dia tidak ada. Sepanjang hari itu setiap ada yang bertanya soal hubunganku dengan Enda kuceramahi dengan kisah malam itu.

Malamnya aku merasa tidak nyaman, saat teduh pagi tadi sudah kuabaikan. Sampai kapan aku harus begini? Pikirku. Begitu banyak kebaikan Tuhan dan baru dikecewakan begini saja aku sudah keok? Malam itu aku sadar, sebenarnya Tuhan tidak pernah salah. Aku yang salah mengartikan tanda dariNya. Aku kembali membaca Alkitabku, membuka renungan hari itu. Meminta maaf pada Tuhan. Aku teringat kisah Ayub yang pada akhirnya tidak menyalahkan Tuhan dan bahkan memohon ampun pada Tuhan. Aku juga teringat beberapa bacaan dari the Purpose Driven Life bahwa kita diciptakan untuk kesenangan Allah. Diciptakan untuk kesenangan Allah, eh kok malah marah-marah menyalahkan Tuhan? Aku jadi sedih sendiri. Aku kemudian berdoa minta maaf pada Tuhan. Dan selanjutnya aku malah tersenyum, melihat kilas balik waktu aku puasa, waktu aku secara teratur mengangkat puji-pujian di sela-sela puasa, waktu aku tekun berdoa hanya untuk hubunganku dengan Enda. Waktu itu rasanya dekat sekali dengan Tuhan. Lha kok waktu jawabannya datang aku malah menjauh? Pikirku. Seharusnya aku bersyukur karena toh sudah dijawab walau tidak sesuai dengan keinginanku.

Malam itu aku tidur pulas. Dalam pikiranku hanya ada satu hal: No…no…no… Bukan Tuhan yang salah!

1 komentar:

Maureen Sidjabat mengatakan...

Wow, baru kali ini saya baca blog yang menulis perasaan pria yang sebegitu 'terbuka'nya ttg cinta.
Tetap semangat ya Dok :)

Salam,
Maureen Sidjabat