Judul di atas adalah judul cerpen
yang saya buat untuk mengikuti lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh
Faber Castell di tahun 2015. Waktu itu adalah kali kedua saya mengikuti lomba
menulis cerpen oleh penyelenggara yang sama. Di tahun sebelumnya saya tidak
lolos, masuk finalis pun tidak. Namun, kali ini berbeda. Walau semua proses
berlanjut hingga awal tahun 2016 namun ternyata hasilnya tidak mengecewakan.
Saya berhasil meraih juara III kategori umum (kategori B) dengan judul cerpen
di atas. Gembira sekaligus terharu, karena ini adalah kedua kalinya saya
memenangkan lomba menulis cerpen. Lomba pertama yang saya menangkan adalah
untuk cerpen berjudul “Nggak Beli Lotre Pa?” yang juga dapat dibaca pada blog
ini.
Yang menarik adalah proses
penjurian dimana banyak orang-orang yang sudah berpengalaman di bidang
penulisan artikel, cerpen, dan media berkomentar memberikan penilaiannya. Saya
cukup bangga menyimak komentar yang bisa saya dapatkan di laman web tulisen.com
yang saya lampirkan gambarnya di bawah ini. Untuk link-nya dapat diklik di
sini (mudah-mudahan link-nya masih aktif ya...).
Saya kutip komentarnya sebagai
berikut:
Demikianlah, saya belum menemukan
topik yang sesungguhnya cukup ‘nendang’ dalam lomba cerpen misteri ini. Dan ada
yang menarik pada penjurian tahap dua. Saya dan Mbak Nina Moran Go Girl,
nampaknya berselisih pendapat mengenai satu cerpen pada kategori B yang
berjudul “Bola Merah di Sudut Kamar” saya memberikan nilai hampir sempurna,
sementara Mbak Nina memberikan nilai separuh dari nilai yang saya berikan. Ini
menarik! Karena menurut saya, walaupun cerpen yang menceritakan tentang orang
yang sudah meninggal ini merupakan topik yang mainstream tetapi teknik
bercerita yang sangat menarik dan ending yang mengejutkan! Teknik bercerita
yang menarik itu karena Rachmat Willy Sitompul menggunakan dua sudut pandang
sekaligus dalam satu cerpen, tanpa terasa memaksakan diri, mengalir dan
menghasilkan ending yang mengejutkan. Semula saya mengira, tokoh yang meninggal
adalah suaminya, tetapi ternyata justru istri dan anak perempuannya yang
diceritakan pertama kali lah yang sudah meninggal. Awesome!
Sumber: tulisen.com |
Wah senangnya manakala tulisan
kita diberi komentar! Jikalau komentar itu seandainya bernada miring pun sebenarnya
oke-oke saja. Itu akan membangun kita untuk menjadi lebih baik ke depannya.
Apalagi jika komentar yang bernada positif tentunya harus semakin membuat kita bersemangat
untuk karya-karya selanjutnya.
Tanpa berpanjang-panjang lagi.
Silahkan disimak cerpen berjudul “Bola Merah di Sudut Kamar” berikut ini,
mungkin dalam narasi ada perbedaan redaksional dengan yang di dalam buku
kumpulan cerpen pemenang yang akan diterbitkan oleh Faber Castell karena
tuntutan jumlah halaman, namun inti ceritanya sama, selamat membaca!
Bola Merah di Sudut Kamar – Juara III Kategori B Lomba Cerpen Faber
Castell 2015
“Selamat pagi Ayah!” suara Nisa,
bocah perempuan berusia tiga tahun itu memecah kesunyian pagi. Sambil menguap,
Nisa berusaha membereskan sendiri tempat tidurnya yang berada dalam kamar
ukuran tiga kali lima itu.
“Geser sedikit Ayah!” suara Nisa
kembali terdengar. Yang dipanggil Ayah hanya tersenyum sambil sosoknya bergerak
ke arah pinggir tempat tidur, turun sejenak dan kemudian kembali duduk di atasnya
ketika Nisa merapikannya.
“Mandi dulu Ayah!” suara Nisa lagi-lagi
memecah sunyi. Walau masih pukul enam pagi, gadis kecil itu bergegas mandi
untuk mengikuti kelas PAUD hari itu.
“Nisa?” suara seorang perempuan
terdengar mengiringi bunyi ketokan di pintu kamar. Itu Astuti, ibu Nisa. Dia
berumur sekitar akhir dua puluhan. Cantik, dengan wajah khas keibuan.
“Sebentar Bu, sedikit lagi!”
teriak Nisa kecil dari kamar mandi.
“Oke… cepat ya, jangan sampai
kita terlambat!” suara sang ibu lagi menjawab Nisa sambil tersenyum dan
berbalik pergi.
Nisa sudah selesai mandi. Masih
berbalut handuk, Nisa mencari baju seragam sekolahnya. Lemari dibuka. Satu per
satu baju yang tergantung disibakkan. Ketika menemukan seragamnya, Nisa
tersadar sesuatu.
“Ayah, jangan ngintip ya.. Nisa
malu!”
Sosok yang dipanggil sang Ayah
itu lagi-lagi hanya tersenyum. Dia menaruh kedua tangan menutupi matanya sambil
tetap tak bersuara.
“Nisa? Sudah” suara sang ibu
kembali terdengar. “Kalau sudah lekas turun, sarapannya dibawa saja ya? Kita
sudah hampir terlambat nih…”
“Oke Bu… sebentar..” jawab Nisa
sambil menyisir rambutnya. Nisa selalu mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda.
Lebih cepat dan mudah pengaturannya, begitu pikir Nisa. Heran, walau masih
berusia tiga tahun, anak itu sudah mengerti hal-hal yang praktis.
“Daaah.. Ayah…” Nisa melambaikan
tangan ke arah sudut kamar. Sosok yang dipanggil Ayah lagi-lagi hanya tersenyum
dan melambaikan tangan membalas salam Nisa.
Suara mobil terdengar meraung
sebentar sebelum akhirnya menghilang. Kamar itu kembali sunyi. Rumah itu
kembali sunyi.
Jam pelajaran kelas PAUD tidak
terlalu lama. Kelas biasanya dibubarkan sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Karena waktu belajar
yang singkat, hampir semua orang tua menunggui anak mereka.
Seperti biasa pelajaran di kelas
PAUD selalu menyenangkan. Demikian pula hari itu. Nisa sangat senang dengan
pelajaran yang didapatnya. Ibu guru Rani mengajar dengan baik. Senyumnya sangat
ramah. Nisa sangat senang dengan ibu guru Rani. Disalam Nisa tangan ibu gurunya
itu sebelum beranjak pulang.
Suara mobil kembali terdengar memasuki
pekarangan rumah itu. Ketika mobil berhenti di depan garasi, Nisa bergegas
turun. Dengan lincah Nisa membuka pintu depan dan bergegas menaiki anak tangga
satu demi satu menuju ke kamarnya.
“Ayah… Nisa pulang!” teriak Nisa
senang. Nisa langsung melepas sepatunya dan langsung melompat ke atas tempat
tidur untuk memeluk sosok yang dipanggil Ayah itu. Yang dipeluk hanya tersenyum.
Sang Ayah sejenak beradu kening dengan putrinya. Keduanya bertatapan sejenak
melepas rindu.
“Mana bolanya?” kata Nisa sambil
melirik ke sudut kamar. Mata sang Ayah juga melirik ke sudut kamar. Di sudut
kamar itu ada sebuah bola berwarna merah. Ukurannya tidak terlalu besar. Cukup
ringan untuk diangkat oleh seorang anak kecil. Nisa turun dari tempat tidur dan
bergegas mengambil bola itu.
“Tangkap Ayah…” Nisa berseru
sambil melempar bola itu. Bola rupanya memantul ke dinding dan kembali pada
Nisa.
“Nisa… ayo turun… makan siang
dulu!” suara Astuti terdengar dari ruang tengah rumah itu. Wajah Nisa sedikit
kecewa. Permainan bolanya terganggu karena harus makan siang. Sang Ayah hanya
tersenyum seolah mengatakan agar Nisa makan siang dulu. Nisa balas tersenyum
sambil memegang perutnya.
“Lapar…” kata Nisa. “Nisa makan
dulu ya Ayah. Nanti kita main lagi… “ kata Nisa lagi sambil melambaikan
tangannya sekilas dan langsung menuju ke pintu kamar.
Kamar itu kembali hening. Namun
tak lama suara dua pasang tapak kaki menaiki satu demi satu anak tangga terdengar.
“Ayo Bu sekali-sekali kita main sama
Ayah..” suara Nisa terdengar. Sang ibu hanya tersenyum. Astuti bergerak
buru-buru mengambil beberapa baju Nisa yang sudah kotor dan mengelompokkannya
di sudut kamar.
“Ayolah Bu.. itu lihat Ayah sudah
menunggu…” pinta Nisa lagi sambil menarik tangan ibunya.
“Nisa saja ya… Ibu masih harus menyetrika
pakaian di bawah..” Astuti menjawab dengan lirih. Matanya tampak berkaca-kaca
namun dia berusaha agar tak menumpahkan air mata di hadapan Nisa.
“Ah ibu… “ suara Nisa kecewa.
Namun sepertinya rasa kecewa Nisa tidak lama. Nisa kembali mengambil bola merah
di sudut kamar itu dan mulai memainkannya. Bola itu terpantul ke dinding dan
ditangkap kembali oleh Nisa.
“Lempar Ayah…”
“Wah… bolanya lepas Ayah..”
Suara Nisa memenuhi seisi kamar
itu. Astuti hanya memandang Nisa. Mengusap matanya sebentar agar tidak jadi
menangis. Kemudian cepat-cepat dimasukkannya pakaian Nisa yang telah disetrika
dengan rapi ke lemari pakaian.
“Nisa, ibu turun dulu ya…” suara Astuti
terdengar memecah keramaian suara Nisa yang sedang bermain bola. Nisa hanya
melirik sekilas ke ibunya sebagai jawaban. Nisa pun kembali bermain.
Siang itu berlalu begitu cepat.
Lelah bermain bola, Nisa naik ke atas tempat tidur. Duduk di samping sang Ayah.
Mereka berdua membolak-balik sebuah buku cerita hingga akhirnya Nisa lelah dan
tertidur dipangkuan sang Ayah. Suasana berubah sunyi. Bola merah itu terdiam di
tempatnya di sudut kamar.
***
Rangga tiba-tiba terbangun.
Kesunyian itu tiba-tiba menyadarkan dirinya. Setiap kali bola merah disudut
kamar itu bergerak, seketika itu juga suasana di kamar itu berubah. Ada sosok
anak kecil dan kadang ada pula sosok seorang perempuan yang muncul. Tapi Rangga
tak bisa berkata apapun kepada keduanya. Rangga hanya bisa berinteraksi dengan
mimik wajah dan gerakan tubuh. Tapi itu
saja sudah cukup bagi Rangga. Sudah cukup untuk mengobati kerinduannya pada
Nisa putrinya dan pada Astuti istrinya. Keduanya meninggal akibat kecelakaan
tiga tahun yang lalu.
Suasana kamar itu tak pernah
berubah hingga kini. Bola merah itu masih tergeletak di sudut kamar dan
sesekali bergerak dan mengubah sesaat suasana. Walau merasa heran, Rangga
senang bisa kembali bertemu dengan Nisa dan Astuti. Tiba-tiba lamunan Rangga
sejenak terputus oleh sebuah suara.
“Mas Rangga sayang.. sudah
diminum obatnya?” suara itu suara Rani. Dia seorang ibu guru. Dia istri Rangga
sekarang. Mobil Rani yang menabrak Astuti dan Nisa hingga tewas.