Salah satu poster Luis Figo di www.stoptb.org |
Membolak-balik laman di web tentang masalah kesehatan khususnya tentang TB, ternyata
memberi saya banyak informasi yang baru saya ketahui. Salah satunya adalah
mengenai keterlibatan Luis Figo dalam kampanye Stop TB. Terus terang saya agak
kaget bercampur bangga dengan tampilnya Luis Figo sebagai salah satu ambassador
untuk kampanye Stop TB. Kaget, karena setahu saya tak semua pemain bola bahkan
artis sekalipun yang mau susah-susah ikut dalam kegiatan sosial seperti ini.
Apalagi ini adalah kampanye tentang penyakit TB. Suatu penyakit yang sering
mengundang stigma dan diskriminasi dari banyak orang di sekeliling
penderitanya. Bangga, karena jujur, saya adalah salah seorang penggemar Figo.
Kelihaiannya dalam bermain bola menurut saya mungkin masih kalah dengan sosok
Lionel Messy atau Christiano Ronaldo, namun ketika Figo menjadi kapten maka
sebagian strategi di lapangan adalah hasil dari buah pikirnya. Kemampuan Figo
dalam mengatur orang dan berinteraksi dengan sesama pemain di lapangan menurut
saya hingga kini tak ada yang bisa mengalahkan. Itu jelas saya lihat ketika
Figo masih bergabung dengan FC Barcelona maupun Real Madrid.
Kita semua bisa menghentikan Tuberculosis, ambil bolanya dan bergerak bersama Figo! Sumber: www.stoptb.org |
Kalau Figo saja mau ambil bagian dalam
penanggulangan TB secara global, masa kita tidak mau ambil bagian juga? Paling
tidak ya, secara lokal. Seperti slogan-slogan yang sering kita dengar: Think Globally, Act Locally!
Bagaimana caranya? Yang paling sederhana
sebenarnya adalah menghilangkan stigma dan diskriminasi diri kita terhadap
penderita TB. Setelah itu, membantu pengurangan stigma dan diskriminasi di
wilayah dimana kita tinggal atau di tempat dimana kita bekerja.
Untuk mulai mengambil peran, tentu penting buat
kita untuk mengetahui sekilas tentang tuberculosis atau TB. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang setiap orang bisa saja
mendapatkannya. Penyakit ini bukan penyakit keturunan atau kutukan
Tuhan. Penyakit ini dapat sepenuhnya disembuhkan dengan menjalani perawatan rutin dan lengkap.
Gejala utama penyakit
ini adalah batuk terus menerus, berdahak, dan terjadi selama 3 minggu atau
lebih dengan gejala tambahan seperti berkeringat di malam hari walau tanpa
berkegiatan dan beberapa gejala tambahan lainnya. Walau saat ini TB sudah bisa
disembuhkan, yang justru memperparah penyakit TB adalah stigma dan diskriminasi
yang masih saja terus terjadi.
Stigma dan
diskriminasi terhadap orang dengan TB dapat terjadi dalam berbagai
pengaturan di tempat kerja, fasilitas perawatan kesehatan, atau dalam masyarakat. Manifestasinya
bisa sedramatis kekerasan
fisik atau sehalus menghindar saja. Namun,
sebenarnya semua hal berbau
stigma dan diskriminasi itu sama sekali tidak perlu karena hal tersebut hanya didasarkan pada mitos dan bukan fakta. Umur stigma memang sudah sama tuanya
dengan sejarah. Dari masa
lampau orang sepertinya sudah banyak melakukan stigma. Coba tengok sebentar
sejarah penyakit kusta misalnya. Ketika dulu belum jelas pengobatannya, stigma
dan diskriminasi sudah terjadi. Penderitanya diasingkan bahkan diisolir hanya
boleh tinggal di wilayah tertentu saja. Kondisi ini terus berlangsung hingga
setelah obat untuk penyakit kusta ditemukan. Stigma dan diskriminasi masih saja
terjadi. Hal tersebut ternyata juga terjadi pada orang dengan HIV maupun pada
para penderita tuberculosisi atau TB. Mereka cenderung diasingkan dan tidak
dilibatkan dalam banyak hal. Akibatnya mereka tersingkir dari panggung ekonomi
dengan pendapatan yang semakin menurun.
Selain konsekuensi
ekonomi, stigma dan diskriminasi
terhadap orang dengan TB juga memiliki dampak sosial
dan psikologis yang menghancurkan. Sikap seperti menghalangi penyedia layanan kesehatan dalam memberikan
pengobatan yang efektif adalah salah satunya. Ketika seorang penderita TB datang ke suatu
fasilitas kesehatan misalnya, orang cenderung menjauhkan diri dengan banyak
alasan. Salah satu alasan yang paling sering dipakai adalah agar tidak
terinfeksi.
Gambaran seorang anak di Kamyala tentang stigma terhadap TB di lingkungannya. Sumber: www.gov.uk |
Karena
itu banyak yang akhirnya memilih tidak berobat. Atau kalaupun dia berobat, itu
biasanya hanya minta diambilkan obat oleh keluarga atau tetangga. Bahkan ketika seorang pasien sudah berobat
pun pengobatan, kurangnya dukungan sosial keluarga mereka
atau anggota masyarakat akhirnya menurunkan kepatuhan mereka pada pengobatan. Kepatuhan yang tepat, padahal sangat dibutuhkan untuk menghindari perkembangan TB resisten
multi-obat (MDR-TB). Isolasi sosial, pengalaman ditolak, rasa malu dan menyalahkan
diri karena diagnosis
TB akhirnya dapat menyebabkan stres psikosomatik,
kesepian dan perasaan putus asa tanpa harapan.
Beberapa mitos dan fakta terkait TB. Sumber: dok. pribadi. |
Beberapa penyebab
stigma dan
diskriminasi termasuk:
- Kurangnya pengetahuan tentang penularan TB, diagnosis dan pengobatan.
- Asosiasi atau dihubung-hubungkan dengan kondisi sudah terstigma khususnya HIV/ AIDS, kemiskinan, kekurangan gizi, dan kondisi hidup dengan higienitas kurang.
- Pengidap TB sering dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri untuk menjadi terinfeksi. Artinya, dia dianggap tidak mampu melindungi dirinya sendiri hingga akhirnya terinfeksi.
- Orang yang hidup dengan TB dipandang bersalah karena menginfeksi orang lain.
- Kurangnya alat pelindung bagi pekerja perawatan kesehatan.
- Kurangnya akses terhadap pengobatan.
Salah satu poster tentang TB yang menjadi sebab utama kematian pada orang terinfeksi HIV. Sumber:www.euco-net.eu |
Adalah penting bahwa karyawan
dan profesional kesehatan memahami
faktor-faktor penentu dan dinamika
stigma untuk memastikan bahwa mereka
ikut ambil bagian dalam mencegah pelanggaran hak asasi manusia, bahwa
pasien mencari nasihat yang tepat
pada waktunya dan
bahwa mereka pada akhirnya akan mencapai suatu kepatuhan pengobatan
yang baik. Disarankan bahwa
manajemen perusahaan menerapkan
strategi berikut untuk meminimalkan stigma terkait TB dan
diskriminasi di tempat kerja:
- Menyediakan lingkungan kerja yang mendukung, di mana orang dapat mengungkapkan status TB mereka tanpa ancaman yang ternoda dan khawatir kehilangan pekerjaan mereka.
- Pengaruhi sikap masyarakat sekitar tentang TB melalui pemberian informasi terkini tentang epidemiologi TB, diagnosis, transmisi, pengobatan dan juga tentang stigma dan diskriminasi terkait TB.
- Libatkan mereka yang memiliki pengalaman pribadi dengan TB dan dirikan "Kelompok Dukungan". Kelompok semacam ini dapat mendorong pertukaran pengalaman yang berhubungan dengan TB dan isu-isu tentang dukungan sosial dan tempat kerja.
- Memulai kampanye di tempat kerja untuk mengubah sikap. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk memberikan informasi yang akurat dan up-to date tentang TB. Misalnya: TB dapat disembuhkan.
- Mengembangkan keberlanjutan kampanye TB anti-stigma melalui kemitraan dengan berbagai perusahaan, yayasan dan publik.
- Menghormati kerahasiaan. Risiko pengungkapan mungkin memberikan tanggapan negatif, seperti penolakan, isolasi dan berdampak kehilangan pekerjaan. Hal ini dapat mengakibatkan kepatuhan pengobatan menjadi buruk. Pengungkapan yang tidak tepat dapat juga berakibat penyebaran TB kepada karyawan lainnya.
- Link dengan inisiatif anti-stigma tempat kerja yang ada.
- Memastikan keselamatan kerja untuk staf kesehatan dan kondisi kerja yang layak bagi semua, misalnya memastikan ventilasi yang baik di klinik perusahaan dan/ atau menerapkan sistem penyaring udara yang baik.
Akhirnya, inilah kata-kata Luis Figo yang
tercantum dalam laman Stop TB mengenai kenapa dia gigih berjuang untuk
menanggulangi TB. Supaya mudah dicerna, saya terjemahkan dalam bahasa
Indonesia:
“Sepakbola selalu
menjadi passion saya, tapi saya juga punya passion lain yang tak
kalah hebatnya. Saya memimpikan sebuah dunia di mana semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi sehat dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Saya bermimpi ada sebuah kesempatan yang sama
untuk bermain bagi
perempuan, laki-laki dan anak-anak di mana-mana.
Tuberkulosis merupakan pelanggaran
yang tidak adil dalam yang
terjadi dalam pertandingan hidup ini. Ada sekitar 9 juta kasus
baru TB setiap tahun, yang paling sering menyerang orang dalam tahun-tahun utama pada masa kerja mereka dan
mengakibatkan
pengeluaran yang akhirnya menekan pendapatan keluarga mereka. Anak-anak rentan terhadap TB juga, dan penyakit
ini bisa memaksa mereka keluar dari sekolah, dan
membatasi prospek pekerjaan mereka di masa depan.
Tuberkulosis dapat
disembuhkan, tapi tetap saja dia membunuh hampir 2
juta orang setiap tahun atau hampir 4500
orang setiap harinya. Kondisi ini tidak bisa
diterima!
Itulah mengapa saya telah
membuat komitmen untuk perang global
melawan tuberkulosis. Mari bergabung dengan tim
saya – ambil bolanya dan berlari bersama saya untuk menghentikan TB”.
-- Goodwill Ambassador against Tuberculosis
Kalau Figo saja bisa dan mau, kenapa kita tidak?
Bacaan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar