Kamis, 01 November 2012

Belajar Berani dan Berserah Diri dari Donald Isaac Panjaitan


DI Panjaitan (Sumber: id.wikipedia.org)
Saya tak tahu persis kapan terakhir kali menonton film G 30S PKI. Yang jelas sewaktu saya masih SD rasanya tak pernah saya melewatkan film itu. Apalagi ketika adegan penculikan para Jenderal yang diiringi dengan musik yang cukup merindingkan bulu roma. Salah satu adegan dalam film tersebut yang tidak bisa saya lupakan adalah adegan putri Mayjen (Anumerta) Panjaitan yaitu Catherine yang membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Adegan itu sangat mengharukan sekali. Dalam hati saya berpikir, pastilah Pak Panjaitan ini sangat disayangi oleh anak dan keluarganya. Saya pun jadi tertarik untuk mencari informasi tentang pahlawan yang satu ini.

Siapa sebenarnya Donald Isaac Panjaitan? Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925 (gugur pada usia 40 tahun pada 1 Oktober 1965). Selepas pendidikan formalnya di Sekolah Menengah Atas - saat itu Indonesia masih dalam pendudukan Jepang, sehingga ketika Panjaitan masuk menjadi anggota militer dia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan,d ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, Panjaitan bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat. Di TKR ini dia ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/ Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T & T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/ Sriwijaya.

Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, Panjaitan ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, dia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu, yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah yang diembannya saat peristiwa G 30S PKI terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giat-giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.

Saat itu PKI sedang dekat-dekatnya dengan pucuk pimpinan tertinggi negeri ini. PKI digadang-gadang untuk bisa menyaingi kekuatan TNI (khususnya Angkatan Darat) yang dianggap terlalu kuat atau berpengaruh pada saat itu.  Dengan situasi ini, apa yang dilakukan Panjaitan dalam membongkar rahasia pengiriman senjata itu tentulah cukup beresiko. Tapi Panjaitan tak gentar. Hal itu tetap dia bongkar.  Di sini saya menarik pelajaran berharga dari beliau untuk tetap berani berbuat yang benar. Suatu hal yang jarang kita temui saat ini di negeri kita tercinta ini.

Hal lain yang menarik dari Panjaitan adalah kemampuannya untuk berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Ketika sekelompok tentara menembak membabi-buta dan masuk ke dalam rumahnya, Panjaitan dipaksa untuk turun dari lantai 2. Panjaitan waktu itu tetap tenang. Tidak ada raut muka ketakutan di wajahnya. Hal ini dapat diketahui dari cerita salah satu putrinya yaitu Riri (Sumber: www.jawaban.com).

Monumen DI Panjaitan di Balige (Foto by Jarar Siahaan)
"Ayah saya keluar dari kamar, memakai baju lengkap, uniformnya sebagai angkatan darat, keluar dari kamarnya dan memandang kami semua. Tidak saya lihat itu wajahnya takut." kenang Riri ketika itu.
Sewaktu turun, Panjaitan dengan tenang mengatakan bahwa dia akan ikut tapi dia mau berdoa terlebih dahulu. Dalam posisi berdiri, berdoa melipat tangan, kepalanya dipukul dan akhirnya dia pun ditembak. Suatu pelajaran berserah diri yang luar biasa dari seorang Panjaitan. Dia sebenarnya tahu apa yang akan dia hadapi. Mungkin saja ini akibat dari keberaniannya membongkar kejadian penyelundupan senjata waktu lalu atau mungkin karena jabatan yang dia pangku saat itu. Tidak ada yang tahu pasti apa yang Panjaitan pikirkan saat itu. Yang jelas dia berserah pada Yang Maha Kuasa.
Saat ini negeri ini sedang “miskin” tokoh yang baik. Tokoh yang bisa dijadikan panutan. Yang tidak gembar-gembor di media menyampaikan perbuatan “baik” nya tapi yang langsung berbuat hal nyata untuk kebaikan masyarakatnya. Teladan Donald Isaac Panjaitan adalah salah satu yang patut dicontoh.
Bacaan:

Tidak ada komentar: