DI Panjaitan (Sumber: id.wikipedia.org) |
Saya tak tahu
persis kapan terakhir kali menonton film G 30S PKI. Yang jelas sewaktu saya
masih SD rasanya tak pernah saya melewatkan film itu. Apalagi ketika adegan
penculikan para Jenderal yang diiringi dengan musik yang cukup merindingkan
bulu roma. Salah satu adegan dalam film tersebut yang tidak bisa saya lupakan
adalah adegan putri Mayjen (Anumerta) Panjaitan yaitu Catherine yang membasuhkan
darah sang ayah ke mukanya. Adegan itu sangat mengharukan sekali. Dalam hati
saya berpikir, pastilah Pak Panjaitan ini sangat disayangi oleh anak dan
keluarganya. Saya pun jadi tertarik untuk mencari informasi tentang pahlawan
yang satu ini.
Siapa
sebenarnya Donald Isaac Panjaitan? Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni
1925 (gugur pada usia 40 tahun pada 1 Oktober 1965). Selepas pendidikan
formalnya di Sekolah Menengah Atas - saat itu Indonesia masih dalam pendudukan
Jepang, sehingga ketika Panjaitan masuk menjadi anggota militer dia harus mengikuti
latihan Gyugun. Selesai latihan,d ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di
Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika
Indonesia sudah meraih kemerdekaan, Panjaitan bersama para pemuda lainnya
membentuk Tentara Keamanan Rakyat. Di TKR ini dia ditugaskan menjadi komandan
batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/ Banteng di
Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV Komandemen
Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang
Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI).
Seiring dengan
berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi
Tentara dan Teritorium (T & T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya
dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/ Sriwijaya.
Setelah
mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, Panjaitan ditugaskan sebagai
Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir
sebagai Atase Militer, dia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah
itu, yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College,
Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan
Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah yang diembannya saat peristiwa G 30S PKI
terjadi.
Ketika
menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya
membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk
PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam
peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo
(Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI
yang sedang giat-giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
Saat itu PKI
sedang dekat-dekatnya dengan pucuk pimpinan tertinggi negeri ini. PKI
digadang-gadang untuk bisa menyaingi kekuatan TNI (khususnya Angkatan Darat)
yang dianggap terlalu kuat atau berpengaruh pada saat itu. Dengan situasi ini, apa yang dilakukan
Panjaitan dalam membongkar rahasia pengiriman senjata itu tentulah cukup beresiko.
Tapi Panjaitan tak gentar. Hal itu tetap dia bongkar. Di sini saya menarik pelajaran berharga dari
beliau untuk tetap berani berbuat yang benar. Suatu hal yang jarang kita temui
saat ini di negeri kita tercinta ini.
Hal lain yang
menarik dari Panjaitan adalah kemampuannya untuk berserah diri pada Yang Maha
Kuasa. Ketika sekelompok tentara menembak membabi-buta dan masuk ke dalam
rumahnya, Panjaitan dipaksa untuk turun dari lantai 2. Panjaitan waktu itu tetap
tenang. Tidak ada raut muka ketakutan di wajahnya. Hal ini dapat diketahui dari
cerita salah satu putrinya yaitu Riri (Sumber: www.jawaban.com).
Monumen DI Panjaitan di Balige (Foto by Jarar Siahaan) |
"Ayah
saya keluar dari kamar, memakai baju lengkap, uniformnya sebagai angkatan darat, keluar dari kamarnya dan
memandang kami semua. Tidak saya lihat itu wajahnya takut." kenang Riri
ketika itu.
Sewaktu turun,
Panjaitan dengan tenang mengatakan bahwa dia akan ikut tapi dia mau berdoa
terlebih dahulu. Dalam posisi berdiri, berdoa melipat tangan, kepalanya dipukul
dan akhirnya dia pun ditembak. Suatu pelajaran berserah diri yang luar biasa
dari seorang Panjaitan. Dia sebenarnya tahu apa yang akan dia hadapi. Mungkin
saja ini akibat dari keberaniannya membongkar kejadian penyelundupan senjata
waktu lalu atau mungkin karena jabatan yang dia pangku saat itu. Tidak ada yang
tahu pasti apa yang Panjaitan pikirkan saat itu. Yang jelas dia berserah pada
Yang Maha Kuasa.
Saat ini
negeri ini sedang “miskin” tokoh yang baik. Tokoh yang bisa dijadikan panutan.
Yang tidak gembar-gembor di media
menyampaikan perbuatan “baik” nya tapi yang langsung berbuat hal nyata untuk
kebaikan masyarakatnya. Teladan Donald Isaac Panjaitan adalah salah satu yang
patut dicontoh.
Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana (http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/01/belajar-berani-dan-berserah-diri-dari-donald-isaac-panjaitan-505795.html).
Bacaan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar