Suatu hari ada seorang mabuk tidur di pelataran gereja. Berkali-kali pengurus gereja mencoba membangunkannya dan menyuruhnya untuk bangun namun tidak kunjung berhasil. Ketika akhirnya si pemabuk bangun dari tidurnya dia berkata kepada pengurus gereja “Tidak tahukah kamu kalau aku harus berada di rumah Bapaku?” (Mop, anonim)
Sore itu sebuah berita yang mengagetkan datang. “Jusni kecelakaan” kata istriku via handphone. Jusni adalah staf Puskesmas Assolokobal dimana istriku melayani sehari-hari sebagai dokter PTT. Aku sejenak terkaget. Karena hari itu hari libur di organisasi maka dari pagi aku sudah mengantar istriku dan ikut menemaninya memeriksa pasien sampai selesai. Pagi itu memang Jusni datang terlambat. Ketika datangpun ia tidak langsung masuk ke Puskesmas tapi sibuk bertelepon dengan seseorang. Setelah selesai dari pekerjaan di Puskesmas, istriku masih sempat bertemu dengan Jusni di rumah seorang dokter rekan kerja istriku. Di akhir tahun ini memang banyak pekerjaan administrasi yang harus diselesaikan terlebih untuk Jusni karena ia seorang bendahara Puskesmas.
“Langsung ke rumah sakit saja, di UGD” sms istriku masuk ke handphoneku. Aku bergegas ke rumah sakit menaiki si hitam motor megapro yang setia menemaniku kemana saja. Di situ tampak kerumunan orang banyak. Aku menemui istriku. “Dua jari kakinya putus” kata istriku. Aku segera melongok ke arah kaki Jusni. Benar, dua jari kakinya putus. “Bagaimana peristiwanya?” tanyaku. “Ngga jelas” sahut istriku. “Ditabrak Strada, yang bawa sepertinya mabuk” lanjutnya. Tak berapa lama perhatian semua orang di ruangan pecah. Rupanya seorang yang sedang mabuk tak henti-hentinya berkata-kata. “Selamat Natal, saya mabuk jadi banyak bicara.. minta maaf.. Tuhan berkati bapak ibu sekalian” logat pegunungan yang kental disertai bau alkohol menyeruak di ruangan itu. Ada yang tertawa terkekeh, namun ada juga yang geram seraya berujar “Suntik mati saja..”. Aku sendiri sempat merasa miris dan jengkel melihatnya. Info yang kemudian aku dapat ternyata ada empat orang pemuda yang sedang mabuk mengendarai Strada. Mereka kemudian menabrak ojek yang ditumpangi Jusni. Supir ojeknya sendiri terlihat belum sadarkan diri.
Istriku terlihat sibuk dengan rekannya sesama dokter. Aku hanya menunggu sambil sesekali membantu mengambilkan beberapa keperluan yang dibutuhkan istriku. Sambil menunggu aku mulai berpikir tentang orang mabuk tadi. Apa yang akan terjadi saat dia sadar nanti? Apakah dia tahu bahwa perbuatannya telah membuat orang lain terluka? Pertanyaan yang muncul dalam benakku semakin banyak dan bahkan menjadi semakin sulit kujawab tatkala pertanyaan yang mulai muncul adalah: Bagaimana pandangan Tuhan tentang orang ini? Apakah Tuhan juga mencintai orang mabuk ini? Belum lagi bisa kujawab, pertanyaan lain muncul dalam benakku: Apakah aku masih bisa menghargai orang mabuk itu sebagaimana nilai dasar organisasi WVI “we value people”?
Dokter dan perawat UGD bertindak cepat. Luka-luka di tubuh orang mabuk itu dibalut di tengah-tengah ocehannya yang kunjung berhenti hingga ia dipindah ke ruang rawat. Ternyata orang mabuk pun mendapat perlakukan sama oleh tenaga kesehatan di UGD malam itu. Tidak peduli dengan kejengkelan yang ada dalam hati semua terapi yang dia butuhkan dikerjakan tanpa kecuali. Dalam hati aku memuji para dokter dan perawat ini. Mereka inilah yang patut diacungi jempol, pikirku karena mereka tetap menghargai si penabrak yang tengah mabuk tanpa perbedaan dengan pasien lainnya. Ini baru we value people!
Sekitar jam 11 malam akhirnya kami pulang. Perut ini terasa keroncongan. Pikiranku masih terus terbayang kejadian di UGD tadi. Sehabis menyantap nasi goreng, aku mencoba merenungkan kembali pertanyaanku tadi. Terlintas satu ayat di Korintus yang menyatakan bahwa pemabuk tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah (I Kor 6:10) namun bagaimana kalau si pemabuk kemudian sadar lalu bertobat dan mengaku dosanya? Ternyata Allah itu setia dan adil, Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (I Yoh 1:9). Yah, akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan. Jika si pemabuk tadi benar-benar mengakui dosanya dan memohon pengampunan maka ia pasti akan diampuni. Tuhan tetap cinta dia, sama seperti dia cinta aku dan semua orang di dunia ini. Tuhan tetap cinta orang mabuk!
“Langsung ke rumah sakit saja, di UGD” sms istriku masuk ke handphoneku. Aku bergegas ke rumah sakit menaiki si hitam motor megapro yang setia menemaniku kemana saja. Di situ tampak kerumunan orang banyak. Aku menemui istriku. “Dua jari kakinya putus” kata istriku. Aku segera melongok ke arah kaki Jusni. Benar, dua jari kakinya putus. “Bagaimana peristiwanya?” tanyaku. “Ngga jelas” sahut istriku. “Ditabrak Strada, yang bawa sepertinya mabuk” lanjutnya. Tak berapa lama perhatian semua orang di ruangan pecah. Rupanya seorang yang sedang mabuk tak henti-hentinya berkata-kata. “Selamat Natal, saya mabuk jadi banyak bicara.. minta maaf.. Tuhan berkati bapak ibu sekalian” logat pegunungan yang kental disertai bau alkohol menyeruak di ruangan itu. Ada yang tertawa terkekeh, namun ada juga yang geram seraya berujar “Suntik mati saja..”. Aku sendiri sempat merasa miris dan jengkel melihatnya. Info yang kemudian aku dapat ternyata ada empat orang pemuda yang sedang mabuk mengendarai Strada. Mereka kemudian menabrak ojek yang ditumpangi Jusni. Supir ojeknya sendiri terlihat belum sadarkan diri.
Istriku terlihat sibuk dengan rekannya sesama dokter. Aku hanya menunggu sambil sesekali membantu mengambilkan beberapa keperluan yang dibutuhkan istriku. Sambil menunggu aku mulai berpikir tentang orang mabuk tadi. Apa yang akan terjadi saat dia sadar nanti? Apakah dia tahu bahwa perbuatannya telah membuat orang lain terluka? Pertanyaan yang muncul dalam benakku semakin banyak dan bahkan menjadi semakin sulit kujawab tatkala pertanyaan yang mulai muncul adalah: Bagaimana pandangan Tuhan tentang orang ini? Apakah Tuhan juga mencintai orang mabuk ini? Belum lagi bisa kujawab, pertanyaan lain muncul dalam benakku: Apakah aku masih bisa menghargai orang mabuk itu sebagaimana nilai dasar organisasi WVI “we value people”?
Dokter dan perawat UGD bertindak cepat. Luka-luka di tubuh orang mabuk itu dibalut di tengah-tengah ocehannya yang kunjung berhenti hingga ia dipindah ke ruang rawat. Ternyata orang mabuk pun mendapat perlakukan sama oleh tenaga kesehatan di UGD malam itu. Tidak peduli dengan kejengkelan yang ada dalam hati semua terapi yang dia butuhkan dikerjakan tanpa kecuali. Dalam hati aku memuji para dokter dan perawat ini. Mereka inilah yang patut diacungi jempol, pikirku karena mereka tetap menghargai si penabrak yang tengah mabuk tanpa perbedaan dengan pasien lainnya. Ini baru we value people!
Sekitar jam 11 malam akhirnya kami pulang. Perut ini terasa keroncongan. Pikiranku masih terus terbayang kejadian di UGD tadi. Sehabis menyantap nasi goreng, aku mencoba merenungkan kembali pertanyaanku tadi. Terlintas satu ayat di Korintus yang menyatakan bahwa pemabuk tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah (I Kor 6:10) namun bagaimana kalau si pemabuk kemudian sadar lalu bertobat dan mengaku dosanya? Ternyata Allah itu setia dan adil, Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (I Yoh 1:9). Yah, akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan. Jika si pemabuk tadi benar-benar mengakui dosanya dan memohon pengampunan maka ia pasti akan diampuni. Tuhan tetap cinta dia, sama seperti dia cinta aku dan semua orang di dunia ini. Tuhan tetap cinta orang mabuk!