Hari itu (tanggal 6 Juni 2012) saya
sedang memimpin rapat bulanan di kantor kami di Asrama Mandiri. Kantor ini
terletak di kawasan yang agak jauh dari pusat kota Wamena. Butuh waktu agak
lama dari rumah menuju kantor ini. Saya sendiri, dan rekan-rekan kerja saya, baru
sejak tanggal 2 Juni 2012 secara bertahap pindah ke kantor ini. Sebuah
pengorbanan yang harus diambil untuk efisiensi biaya sewa kantor yang harus
dikeluarkan setiap tahunnya.
Sumber: www.westpapuamedia.info |
Namun bukan itu yang ingin saya
ceritakan saat ini. Situasi hari itu sangat mencekam. Saya dan rekan-rekan
termasuk pada grup orang-orang yang khawatir saat itu. Kami tidak tahu apa yang
terjadi. Berita datang simpang siur, silih berganti, baik via sms maupun via
telepon (HP). Rapat bulanan pun terpaksa dipersingkat. Teman-teman lapangan
yang menginap di hotel Wamena, dibonceng satu persatu dengan motor yang ada. Isu
saat itu hanya satu, “Tentara ngamuk!”.
Menuju rumah, jalanan sudah
dipenuhi oleh orang-orang asli Wamena. Asap hitam membumbung tinggi ke udara.
Gila! Pikirku. Harus cepat sampai rumah. Apa daya motor pun tak bisa dikebut.
Masyarakat terlalu banyak sehingga kalau motor berlari agak cepat bisa
memancing masalah baru. Bisa jadi pusat perhatian dan kalau sudah demikian,
bisa ditebak apa yang akan terjadi. Saya bisa diberhentikan di jalan. Motorpun
ada kemungkinan diambil dan dibakar begitu saja di jalan.
Sampai di rumah istriku sudah
khawatir. Tetangga sebelah tak bisa pulang, katanya. Dia terjebak di kantor.
Sehabis memasukkan motor ke dalam rumah, suara tembakan terdengar berentetan.
Tirai jendela kami tutup. Lampu dipadamkan. Suasana sangat mencekam. Hampir 1
jam suara tembakan membahana memecah kesunyian kota. Dalam bayanganku, para
tentara bergerak maju dan menembaki siapa saja yang mereka temui. Kacau! Kalau aparat
keamanan malah masuk kota dan mengamuk. Sehabis itu suasana sepi. Hujan
rintik-rintik mulai turun. Lebih lengkap lagi, saat itupun listrik satu kota
mati. Makin lengkaplah suasana mencekam itu. Untung sekitar jam 8 malam (kalau
saya tak salah mengingat) lampu kembali menyala. Memang masih hujan deras, tapi
paling tidak kalau lampu menyala masih agak meringankan situasi saat itu.
Salah satu sms pun saya terima, “Tentara
sedang sisir jalanan dst...dst...”. Segera saya hubungi salah satu rekan
lapangan. Jangan sampai ada yang berkeliaran diluar hotel dan menjadi korban
sia-sia. Untung jalur komunikasi via HP masih baik. Pesan saya diterima dengan
baik dan diteruskan ke semua rekan-rekan lapangan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata
ceritanya bermula dari beberapa tentara yang mengendarai kendaraan bermotor
kemudian menyenggol orang Wamena sehingga terluka (di kemudian hari ternyata diketahui
bahwa orang yang disenggol tersebut adalah orang Lanny Jaya). Orang Wamena
tersebut membalas tentara tadi hingga kabarnya tentara tersebut tewas. Akhirnya
tentara satu batalyon mengamuk, turun ke kota dan marah membabi-buta. Sayang,
yang jadi korban tak hanya orang Wamena. Satu toko milik pendatang (suku Batak)
porak-poranda, barang-barang kiosnya habis dijarah massa, satu gudang becak
dibakar, sekian honai dibakar di sekitar wilayah Gunung Susu, sekian orang
terluka, sekian orang tewas. Suatu pengorbanan yang tidak perlu jika aparat
bisa menahan diri. Suatu pengorbanan yang terlalu mahal yang berujung “terlihat
arogan” di mata orang Wamena. Setelah peristiwa itu muncul pula kekhawatiran
baru, dengan banyaknya korban orang Wamena akibat ngamuknya tentara, akankah
orang Wamena membalas? Dengan peristiwa tersebut, layakkah orang Wamena marah?
Terlepas adanya provokator yang mungkin
juga orang Wamena (mungkin orang Wamena, tapi pasti orang Papua) yang
meneriakkan, “bakar rumah pendatang!”. Terlepas adanya aksi di wilayah lain sesudahnya,
layakkah mereka marah? Untuk peristiwa ngamuknya aparat ini, saya setuju, orang
Wamena berhak marah! Sama sekali tidak ada alasan sekelompok aparat bisa
berbuat seenaknya seperti itu. Dan sayangnya hal ini tidak tersebar di stasiun
berita manapun. Saya mencoba melihat setiap running
text di berbagai stasiun televisi namun tak ada berita lengkap tentang hal
ini. Yang ada hanya satu link yang saya dapatkan yang bisa pembaca klik disini. Saya tidak tahu apakah berita yang ada di situ bisa dibilang objektif
atau tidak. Saya juga tidak menyatakan bahwa saya mendukung sepenuhnya isi website itu. Yang jelas, pemberitaan itu
harus berimbang. Jangan cuma penyerangan oleh kelompok tertentu diberitakan
gencar namun tindakan aparat tidak diexpose secara terbuka.
Hari Kamis, tanggal 7 Juni 2012
instruksinya jelas. Semua staf diam di rumah masing-masing menunggu komando
kordinator security yang ditugaskan
untuk hal-hal seperti ini. Saya dan istri pun tinggal di rumah memanfaatkan
waktu untuk mencuci baju dan bersih-bersih rumah sambil celingak-celinguk ke kanan
dan ke kiri melihat situasi. Jalanan masih tampak lengang di pagi hari namun
siang dan sore harinya situasi berangsur normal. Sempat ada peristiwa heboh di
siang hari dimana salah satu jenazah korban tewas (orang Wamena) diarak oleh
keluarganya di jalan-jalan kota. Bahkan melewati bandara Wamena. Seisi bandara
heboh, mereka pikir orang Wamena akan membalas dendam. Namun ternyata tidak,
orang Wamena hanya mengungkapkan kekecewaan mereka, atas perilaku aparat yang
mereka alami.
Well, mereka (orang Wamena)
berhak marah dan saya tahu itu. Tapi mereka tidak (marah). Atau mereka menunggu
waktu yang tepat? Hanya Tuhan yang tahu.